Wonosobo, satumenitnews.com – “Saya bukan penderita disabilitas, saya hanya memiliki cara berbeda untuk menjalani hidup,” kata Deni Setia Nugroho, seorang guru tunanetra yang kini mengajar di SLB Negeri Kota Magelang.
Ungkapan ini menjadi pembuka kisah inspiratif Deni, seorang pendidik yang membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah alasan untuk menyerah.
Setiap hari, Deni menempuh perjalanan sejauh 80 kilometer pulang pergi dari Wonosobo ke Magelang. Dengan menggunakan bus umum, ia memulai perjalanannya sebelum subuh dan kembali ke rumah menjelang magrib.
“Kadang orang mengira saya menderita, tapi hidup saya penuh kebahagiaan dan tantangan yang justru membuat saya terus berkembang,” ungkapnya.
Dukungan Keluarga yang Menguatkan
Deni kehilangan penglihatannya saat duduk di bangku kelas 3 SD akibat komplikasi demam tinggi. Meski kehilangan penglihatan, ia tidak pernah kehilangan dukungan keluarga. Orang tuanya tidak pernah malu dengan kondisinya dan selalu memperlakukannya sama seperti anak-anak lainnya.
“Sikap orang tua saya luar biasa. Mereka tidak pernah merasa rendah diri. Mereka mengajarkan saya untuk menerima keadaan tanpa mengasihani diri sendiri,” ujar Deni.
Dukungan inilah yang menjadi landasan kokoh dalam perjalanan hidupnya.
“Saya Tidak Butuh Dikasihaani”
Saat bersekolah di SMA Mandua Sleman, Deni menjadi satu-satunya siswa tunanetra di kelas. Ia sering dianggap sebagai individu yang harus dibantu atau dikasihani. Namun, ia selalu membuktikan bahwa ia bisa setara dengan teman-temannya, bahkan melampaui mereka.
“Saya justru merasa tertantang. Ketika mereka berkata, ‘santai saja, biar kami yang kerjakan,’ saya malah berpikir, kalau saya tidak ikut, saya tidak akan belajar,” kata Deni.
Semangat itu membawanya menjadi siswa berprestasi, bahkan meraih peringkat pertama paralel di jurusan IPS.
Teknologi dan Kemandirian
Di masa kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Deni menggunakan teknologi seperti aplikasi pembaca layar untuk mengakses materi belajar. Namun, ia menekankan bahwa teknologi hanya alat bantu, bukan penentu keberhasilannya.
“Saya harus tetap belajar dan berusaha keras. Teknologi membantu, tetapi semangat adalah yang utama,” katanya.
Kini, Deni mengajar anak-anak berkebutuhan khusus, membagikan ilmu dan semangat kepada mereka. Ia percaya, dengan pola pikir yang benar, tidak ada yang mustahil.
“Anak-anak harus tahu bahwa mereka juga memiliki potensi besar,” ujarnya.
“Disabilitas Tidak Membatasi Cita-Cita”
Deni juga aktif dalam berbagai kegiatan di luar mengajar. Ia adalah seorang atlet goalball, olahraga khusus tunanetra, dan seorang musisi yang pernah tampil di ajang pencarian bakat di televisi. Selain itu, ia adalah seorang penulis yang telah menerbitkan dua novel, salah satunya berjudul Kanvas Cinta Dalam Gelap.
“Disabilitas tidak membatasi cita-cita saya. Saya hanya menempuh jalur berbeda untuk mencapainya,” katanya dengan penuh keyakinan.