Home » Wonosobo Siapkan Peta Baru Ketahanan Pangan 2045, Fokus ke Teh dan Kopi, Bukan Ubi Kayu

Wonosobo Siapkan Peta Baru Ketahanan Pangan 2045, Fokus ke Teh dan Kopi, Bukan Ubi Kayu

by Manjie
Listen to this article

Wonosobo, satumenitnews.com – Pemerintah Kabupaten Wonosobo mulai menata ulang arah pembangunan sektor pertanian menuju 2045. Fokus utamanya ialah memperkuat ketahanan pangan melalui pengembangan agrobisnis yang tangguh, adaptif terhadap iklim, dan memiliki daya saing global.

Kajian strategis yang disusun oleh Tim Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menyoroti potensi besar Wonosobo dalam pengembangan hortikultura dan perkebunan. Teh dan kopi menjadi komoditas unggulan karena kualitasnya sesuai dengan agroklimat dataran tinggi dan berpeluang menembus pasar ekspor dunia.

Kegiatan pemaparan hasil kajian itu berlangsung di Aula Dispaperkan Wonosobo pada Kamis (13/11/2025), dihadiri oleh perwakilan dinas terkait, Koordinator Balai Penyuluh Pertanian (BPP) se-Kabupaten Wonosobo, serta Ketua KTNA Kecamatan dan pelaku usaha pertanian dari tiap wilayah.

Potensi Tinggi Tanah Wonosobo

Ketua Tim Riset Roadmap Pertanian Wonosobo, Budi Dharmawan, dosen Fakultas Pertanian Unsoed, menjelaskan Wonosobo memiliki ketinggian antara 250 hingga 2.445 meter di atas permukaan laut. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan yang ideal untuk pertanian bernilai tinggi.

Menurutnya, selain mampu mencukupi kebutuhan pangan lokal, Wonosobo berpotensi menjadi pemain penting dalam pasar ekspor, terutama melalui penguatan rantai nilai pada komoditas teh dan kopi.

Namun, Budi mengingatkan bahwa ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada potensi lahan. Petani dituntut beradaptasi dengan perubahan iklim dan menerapkan inovasi teknologi agar produktivitas meningkat.

Tantangan Modernisasi Pertanian

“Teknologi menjadi kunci. Mulai dari pemilihan benih unggul, pemupukan presisi, sampai sistem pengolahan hasil pascapanen harus diperkuat,” tutur Budi.

Ia menegaskan pentingnya keterlibatan perguruan tinggi dan lembaga pelatihan sebagai penghubung antara riset dan implementasi di lapangan. Hal ini bertujuan agar petani tidak tertinggal dalam penggunaan teknologi yang sesuai dengan kondisi lokal.

Lemahnya Hilirisasi dan Rantai Nilai

Selain tantangan iklim, Budi menyoroti lemahnya hilirisasi di tingkat petani. Banyak hasil panen dijual mentah tanpa nilai tambah. Kondisi ini membuat petani sulit keluar dari ketergantungan harga pasar.

Hilirisasi, seperti pengolahan ubi kayu menjadi mocaf, bioetanol, atau gula cair, dinilai dapat membuka industri baru di pedesaan. Pendekatan ini tidak hanya menjaga stabilitas harga, tetapi juga memperluas lapangan kerja dan memperkuat daya saing daerah.

Penolakan Ubi Kayu Sebagai Komoditas Unggulan

Namun tak semua komoditas layak dikembangkan sebagai unggulan. Umar Shoid, Kabid Bina Program Dispaperkan Wonosobo, menolak usulan ubi kayu sebagai prioritas utama dalam roadmap pertanian.

Menurutnya, hasil ekonomi ubi kayu belum memadai. Pendapatan rata-rata dari satu hektar lahan hanya sekitar 20 juta rupiah dengan harga jual 500–800 rupiah per kilogram. Masa panen yang panjang, 8 hingga 10 bulan, membuatnya kurang kompetitif dibanding teh ataupun kopi.

“Ubi kayu tidak bisa dipaksakan menjadi unggulan tanpa ada inovasi teknologi dan penguatan rantai pasok. Kita harus realistis dengan potensi ekonomi,” tegas Umar.

Fokus pada Komoditas Bernilai Ekspor

Pemerintah kini diarahkan untuk lebih selektif dalam memilih komoditas bernilai ekonomi tinggi dan memiliki daya saing pasar global. Teh dan kopi dinilai paling prospektif, karena telah memiliki branding kuat serta pasar ekspor yang luas.

Hilirisasi teh menjadi berbagai produk turunan seperti teh celup dan minuman siap saji, serta pengolahan kopi menjadi bubuk kemasan premium, diharapkan mampu memperkuat posisi Wonosobo sebagai sentra agrobisnis dan pariwisata unggulan Jawa Tengah.

Rencana Anggaran dan Strategi 2026

M. Arif Setiawan perwakilan dari Bappeda Wonosobo menyampaikan bahwa alokasi anggaran sektor pertanian 2026 masih bersifat dinamis. Pemerintah berencana mendistribusikan dukungan tidak hanya pada Dinas Pertanian, tetapi juga pada sektor pendukung seperti industri pengolahan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan infrastruktur distribusi.

“Pembangunan sektor pertanian harus simultan—dari hulu ke hilir. Ketahanan pangan bukan sekadar meningkatkan produksi, tetapi juga memastikan produk lokal punya nilai tambah,” ujar Arif.

Dengan strategi ini, pemerintah berharap petani Wonosobo tidak sekadar menjadi produsen bahan mentah, tetapi juga pelaku utama dalam rantai ekonomi berbasis hasil pertanian olahan.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy