Home » 7 Perubahan Besar Saat Mahkamah Konstitusi Kabulkan Sebagian Gugatan UU Cipta Kerja

7 Perubahan Besar Saat Mahkamah Konstitusi Kabulkan Sebagian Gugatan UU Cipta Kerja

Putusan Mahkamah Konstitusi membawa perubahan besar dalam aturan ketenagakerjaan. Simak tujuh poin utama yang memengaruhi pekerja dan pengusaha

by Manjie
Listen to this article

Pada 31 Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Gugatan ini diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah serikat pekerja yang menilai undang-undang tersebut merugikan hak pekerja.

Dalam putusan tersebut, MK memerintahkan perubahan pada beberapa aturan yang sebelumnya dinilai kurang melindungi hak pekerja.

Putusan ini membawa tujuh perubahan utama yang dianggap signifikan bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia.

1. Pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan Baru

Sebelumnya, ketentuan ketenagakerjaan berada dalam lingkup omnibus law UU Cipta Kerja, yang mencakup berbagai sektor, seperti investasi dan lingkungan. Hal ini dinilai menyebabkan tumpang tindih regulasi dan kurang fokus pada perlindungan pekerja.

MK memutuskan agar ketentuan ketenagakerjaan dipisahkan dalam undang-undang tersendiri. Dengan undang-undang baru ini, diharapkan fokus pada perlindungan tenaga kerja dapat ditingkatkan dan aturan menjadi lebih jelas.

2. Batas Waktu PKWT Maksimal Lima Tahun

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebelumnya tidak memiliki batas waktu maksimal yang jelas. Hal ini memungkinkan pengusaha memperpanjang kontrak kerja tanpa batas tertentu, sehingga menciptakan ketidakpastian status bagi pekerja kontrak.

Baca juga :  Pendidikan Volunteer KITA INSTITUTE 2024: Peluang Berharga bagi Generasi Peduli Sosial

MK menetapkan durasi maksimal PKWT adalah lima tahun, termasuk perpanjangan. Setelah melewati masa tersebut, pekerja wajib diangkat menjadi karyawan tetap untuk memastikan hak mereka terlindungi.

3. Pembatasan Outsourcing yang Lebih Ketat

Sebelumnya, jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing) tidak diatur secara rinci, sehingga sering kali pekerjaan inti (core business) juga dialihdayakan. Hal ini dinilai merugikan pekerja karena mereka tidak mendapatkan perlindungan yang sama seperti karyawan tetap.

MK memutuskan bahwa jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan harus diatur secara spesifik oleh menteri tenaga kerja. Dengan pembatasan ini, diharapkan pekerja outsourcing mendapatkan kejelasan status dan perlindungan yang lebih baik.

4. Pengutamaan Tenaga Kerja Lokal

Penggunaan tenaga kerja asing (TKA) sebelumnya dianggap terlalu longgar, dengan sedikit pembatasan mengenai jabatan atau durasi waktu kerja mereka. Hal ini memicu kekhawatiran akan berkurangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal.

Baca juga :  Pelantikan Kepala Sekolah dan Penilik di Wonosobo: Bupati Tekankan Peningkatan Mutu Pendidikan

MK menegaskan bahwa TKA hanya dapat dipekerjakan untuk jabatan tertentu dan dalam waktu tertentu saja. Selain itu, tenaga kerja lokal harus menjadi prioritas utama dalam proses rekrutmen.

5. Hak Cuti dan Istirahat Mingguan yang Lebih Jelas

Hak cuti dan istirahat pekerja sering kali menjadi isu yang diabaikan dalam pelaksanaan UU Cipta Kerja. Beberapa perusahaan bahkan tidak memberikan waktu istirahat yang cukup kepada pekerja.

MK mempertegas hak pekerja terkait istirahat mingguan: dua hari istirahat untuk pekerja dengan lima hari kerja, dan satu hari istirahat untuk pekerja dengan enam hari kerja. Selain itu, hak cuti tahunan harus diberikan sesuai aturan yang berlaku.

Baca juga :  Mahkamah Konstitusi Kabulkan Sebagian Gugatan UU Cipta Kerja: 7 Perubahan Besar

6. Penetapan Upah di Atas Upah Minimum

Sebelum putusan ini, upah minimum sering dijadikan patokan utama oleh pengusaha, tanpa mempertimbangkan kebutuhan hidup layak bagi pekerja. Hal ini menyebabkan banyak pekerja menerima upah yang hanya memenuhi batas minimum.

MK memutuskan bahwa pengusaha wajib memberikan upah di atas upah minimum melalui kesepakatan bersama dengan pekerja atau serikat pekerja. Langkah ini bertujuan memastikan penghasilan pekerja mencukupi untuk kebutuhan hidup mereka.

7. PHK dan Pesangon Mendapat Kepastian Hukum

Aturan terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pesangon sering kali tidak jelas, sehingga merugikan pekerja. Banyak kasus PHK dilakukan tanpa melalui prosedur yang adil, dan pekerja tidak mendapatkan pesangon yang sesuai.

MK menegaskan bahwa aturan terkait PHK harus dilakukan secara transparan dan adil. Besaran pesangon wajib ditetapkan dengan jelas sesuai dengan hukum, untuk memastikan hak pekerja terlindungi.

You may also like

Leave a Comment