Wonosobo, Satumenitnews.com – Aksi demonstrasi terjadi di Taman Fatmawati, Wonosobo, pada 20 Januari 2025, ketika ratusan sopir pengangkut sampah dari desa-desa turun ke jalan. Mereka menolak kenaikan tarif retribusi sampah yang diberlakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Wonosobo.
Para sopir ini mewakili desa-desa yang telah memiliki perjanjian dengan DLH untuk membuang sampah ke TPA Wonorejo. Mereka mengeluhkan kenaikan tarif yang dianggap mendadak dan memberatkan.
Namun, dalam konferensi pers pada 30 Januari 2025, Kepala DLH Wonosobo, Endang Lisdyaningsih, S.Hut., menegaskan bahwa sosialisasi mengenai kenaikan tarif telah dilakukan jauh sebelum aturan diterapkan.
“Kami sudah melakukan sosialisasi sejak tahun lalu kepada seluruh desa dan pemangku kepentingan. Kenaikan ini bukan tiba-tiba,” ujarnya.
Meski demikian, para sopir dan pemerintah desa tetap menilai kenaikan ini masih perlu dikaji ulang.
Demo Sopir Sampah: Apa yang Mereka Tuntut?
Dalam aksi di Taman Fatmawati (20/01/2025), para sopir pengangkut sampah menyampaikan beberapa tuntutan kepada DLH Wonosobo:
- Evaluasi ulang kenaikan tarif retribusi yang dianggap terlalu tinggi.
- Peningkatan fasilitas di TPA Wonorejo, terutama akses jalan yang rusak.
- Sosialisasi yang lebih efektif, karena masih ada desa yang mengaku belum memahami skema baru.
- Kompensasi bagi sopir pengangkut, yang kini harus menanggung beban operasional lebih besar.
Seorang sopir dari Kecamatan Selomerto menyatakan, “Kami baru tahu kenaikan ini saat tagihan melonjak. Kalau memang sudah disosialisasikan, kenapa banyak yang tidak paham?”
DLH Wonosobo: “Kenaikan Tarif Sudah Disosialisasikan Sejak Tahun Lalu”
Dalam konferensi pers pada 30 Januari 2025, DLH Wonosobo membantah klaim bahwa kenaikan tarif retribusi dilakukan secara mendadak.
“Kami sudah mengundang perwakilan desa untuk membahas kebijakan ini sejak tahun 2024. Bahkan dalam beberapa pertemuan, kami menjelaskan alasan di balik penyesuaian tarif,” ujar Endang.
Menurutnya, kenaikan ini diberlakukan untuk mendukung operasional TPA Wonorejo, yang kini melayani lebih dari 100 desa di Kabupaten Wonosobo.
DLH juga menyatakan bahwa kenaikan tarif ini sudah tertuang dalam Perda No. 11 Tahun 2023, yang mengatur retribusi sampah bagi rumah tangga, pelaku usaha, dan desa yang memiliki perjanjian dengan TPA Wonorejo.
Namun, Kepala DLH mengakui bahwa masih ada desa yang belum memahami sepenuhnya sistem retribusi yang baru.
“Kami akan terus melakukan sosialisasi lanjutan agar masyarakat tidak salah paham mengenai kebijakan ini,” tegasnya.
Tarif Baru Retribusi Sampah: Berapa Biayanya?
Menurut data DLH, tarif baru retribusi sampah berlaku untuk berbagai kategori pengguna:
1. Rumah Tangga Perkotaan
- Tarif dasar: Rp5.000 – Rp8.000 per KK per bulan
- Biaya tambahan pengangkutan: Rp10.000 – Rp20.000
- Total rata-rata: Rp15.000 – Rp25.000 per bulan
2. Rumah Tangga Non-RIK (Desa di luar kawasan perkotaan)
- Tarif dasar: Rp110 per kilogram sampah
- Perhitungan rerata: 2 kg per hari x 30 hari x Rp110
- Total pembayaran: Rp6.600 per bulan
3. Desa yang Bekerja Sama dengan TPA Wonorejo
- Biaya per desa bervariasi, tergantung volume sampah yang dibuang.
- Beberapa desa mengeluhkan kenaikan dari Rp500.000 menjadi lebih dari Rp900.000 per bulan.
Solusi DLH: Evaluasi Tarif dan Perbaikan Infrastruktur
Dalam konferensi persnya, DLH Wonosobo mengumumkan beberapa langkah untuk meredam gejolak yang terjadi:
✅ Evaluasi ulang kenaikan tarif, terutama bagi desa-desa yang terdampak kenaikan drastis.
✅ Perbaikan akses jalan menuju TPA, agar pengangkutan sampah lebih lancar.
✅ Peningkatan fasilitas di TPA, termasuk sistem pengelolaan limbah yang lebih baik.
✅ Sosialisasi lebih luas kepada desa dan sopir pengangkut, agar regulasi ini bisa diterima dengan lebih baik.
Dengan kondisi ini, polemik retribusi sampah di Wonosobo tampaknya masih akan terus berlanjut dalam beberapa bulan ke depan.