Home » Kondisi Lahan Pertanian di Wonosobo: Penyusutan Lahan dan Pergeseran Fungsi

Kondisi Lahan Pertanian di Wonosobo: Penyusutan Lahan dan Pergeseran Fungsi

by Manjie
Listen to this article

Wonosobo, satumenitnews.com – Lahan pertanian di Kabupaten Wonosobo menghadapi tantangan berat, terutama akibat penyusutan lahan sawah dan pergeseran fungsi ke hortikultura. Berdasarkan data Dinas Pangan, Pertanian, dan Perikanan (Dispaperkan), luas lahan pertanian mengalami penurunan signifikan setiap tahunnya.

Umar Soid, Kepala Bidang Program dan Penyuluhan, dan Burhan Lutfi, Analis Prasarana dan Sarana Pertanian, menjelaskan dampak, tantangan, dan upaya yang telah dilakukan untuk mempertahankan keberlanjutan sektor ini.

Penyusutan Lahan Sawah yang Mengkhawatirkan

Luas lahan sawah di Wonosobo tercatat 10.877 hektare pada 2023, namun terus menyusut rata-rata 3.000 meter persegi per tahun. Penyusutan ini terjadi karena alih fungsi lahan menjadi permukiman, pariwisata, atau infrastruktur lainnya, terutama di daerah dengan perkembangan pesat seperti Garung dan Sapuran.

Umar Soid menjelaskan bahwa penyusutan ini berdampak langsung pada produksi tanaman pangan, khususnya padi.

“Luas lahan sawah terus menurun setiap tahun. Hal ini sangat memengaruhi kapasitas produksi tanaman pangan lokal,” ujar Umar.

Wilayah seperti Kecamatan Garung dan Sapuran telah kehilangan sebagian besar sawahnya. Dari 15 kecamatan, hanya empat yang masih memprioritaskan padi sebagai komoditas utama.

Baca juga :  Semua Disiplin Ilmu Bisa Dikaitkan dalam Pertanian, Gen Z Pasti Bakal Tertarik

Bahkan, Kecamatan Kejajar tidak memiliki sawah sama sekali, sementara di daerah bawahnya seperti Kecamatan Garung, terutama di Desa Siti Harjo dan Tegal Sari, sawah masih mendominasi, meskipun tekanan alih fungsi terus meningkat.

Hortikultura Mendominasi Wilayah Pertanian

Sebagian besar wilayah pertanian di Wonosobo kini telah beralih ke hortikultura seperti cabai, tomat, dan sayuran. Pergeseran ini didorong oleh potensi keuntungan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan tanaman pangan seperti padi, meskipun memiliki risiko pasar yang lebih besar.

Menurut Burhan Lutfi, petani di Wonosobo mulai meninggalkan pola tanam tradisional seperti “dua-satu” (dua kali padi, satu kali hortikultura).

“Wilayah seperti Sapuran dan Kalibawang kini lebih fokus pada hortikultura. Pola tanam padi semakin tergeser oleh tanaman seperti cabai dan tomat,” jelas Burhan.

Hortikultura memberikan peluang ekonomi yang lebih besar bagi petani, tetapi sekaligus meningkatkan risiko karena fluktuasi harga di pasar yang tidak stabil.

Kendala Pendataan dan Pola Tumpang Sari

Pendataan lahan menjadi tantangan besar dalam pengelolaan pertanian Wonosobo. Sistem pendataan saat ini belum mampu mencatat pola tumpang sari yang sering dilakukan petani. Satu lahan dapat digunakan untuk padi, jagung, dan cabai dalam satu siklus tanam, tetapi data ini sering kali tercatat sebagai tiga lahan berbeda.

Baca juga :  Jadi Contoh Nasional, Jawa Tengah Surplus Perlindungan Lahan Pertanian

“Sistem kami belum mampu mencerminkan kondisi lapangan secara akurat. Hal ini membuat data luas tanam terlihat lebih besar daripada luas lahan fisik sebenarnya,” kata Burhan. Umar menambahkan bahwa pengembangan sistem pendataan berbasis digital menjadi salah satu prioritas utama untuk memastikan kebijakan yang tepat sasaran.

Regenerasi petani menjadi persoalan lain yang cukup serius. Sebagian besar petani di Wonosobo adalah generasi tua, sementara minat generasi muda terhadap sektor pertanian terus menurun.

“Lahan sawah yang tersisa sebagian besar dikelola oleh petani yang sudah lanjut usia. Generasi muda lebih tertarik bekerja di sektor lain,” ujar Umar.

Ia menambahkan bahwa 80% lahan pertanian di Wonosobo adalah milik pribadi, tetapi banyak lahan dikelola dengan sistem bagi hasil atau sewa karena pemiliknya tidak mampu mengelolanya sendiri.

Upaya Dispaperkan untuk Keberlanjutan

Dispaperkan Wonosobo telah meluncurkan berbagai program untuk menjaga keberlanjutan sektor pertanian. Berikut beberapa langkah strategis yang telah dilakukan:

  1. Pelatihan dan Penyuluhan:
    Memberikan edukasi kepada petani tentang teknik tumpang sari, penggunaan pupuk organik, dan efisiensi pengelolaan lahan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas di lahan yang terbatas.
  2. Digitalisasi Data:
    Mengembangkan sistem pendataan berbasis teknologi untuk mencatat penggunaan lahan, pola tanam, dan kondisi lapangan secara lebih akurat. Hal ini penting untuk memastikan validitas data yang digunakan untuk perencanaan.
  3. Pemberdayaan Kelompok Tani:
    Saat ini terdapat sekitar 1.400 kelompok tani di Wonosobo, meskipun hanya 60% yang aktif. Dispaperkan terus mendorong keterlibatan petani melalui kelompok tani untuk mendapatkan akses lebih baik terhadap subsidi dan pelatihan.
  4. Promosi Pertanian Modern:
    Mendorong generasi muda untuk terlibat dalam pertanian melalui pengenalan teknologi modern seperti screen house dan pertanian berbasis digital. Hal ini diharapkan dapat menarik minat generasi muda untuk kembali ke sektor pertanian.
Baca juga :  Pisang dan Durian Jadi Komoditas Unggulan Kecamatan Kepil: Panen Capai Puluhan Ribu Kuintal

“Dengan kolaborasi semua pihak, termasuk petani, kelompok tani, dan pemerintah, kami optimis sektor pertanian di Wonosobo dapat tetap produktif meskipun menghadapi banyak tantangan,” pungkas Umar.

You may also like

Leave a Comment