Wonosobo, satumenitnews.com – Fenomena “jalan tikus” menuju Dieng belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Wisatawan yang ingin mempersingkat waktu tempuh atau menghindari kemacetan mulai menempuh jalur alternatif non-resmi. Namun di balik itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Wonosobo, Fahmi Hidayat, mengingatkan bahwa tidak semua jalur tersebut layak dilalui kendaraan umum.
Jalur Alternatif dan Bahayanya
Menurut Fahmi, banyak wisatawan yang salah mengira jalur alternatif sebagai rute resmi karena mengikuti petunjuk digital seperti Google Maps. “Ada pengunjung yang memilih jalur Sembungan–Sikarim karena muncul di peta. Padahal jalur itu menanjak dan sempit, tidak cocok untuk mobil berkapasitas biasa,” ujarnya.
Ia menyebut, laporan mengenai kendaraan terjebak di jalur curam makin sering muncul dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa wisatawan bahkan harus dibantu warga sekitar untuk keluar dari rute tersebut. “Banyak yang mengira itu jalan pintas. Padahal itu jalan yang butuh kesiapan kendaraan dan sopir yang berpengalaman,” kata Fahmi.
Dinas pariwisata mengaku telah menerima keluhan warga soal kemacetan mendadak di jalur pedesaan akibat wisatawan yang salah arah. Ada juga permintaan untuk meninjau ulang tampilan peta daring agar tidak menuntun pengguna ke ruas dengan risiko tinggi. “Kami berkoordinasi dengan pihak terkait untuk menandai jalur berbahaya. Tujuannya bukan melarang, tapi melindungi,” tambahnya.
Antara Kemudahan dan Edukasi
Fenomena jalan tikus sebenarnya tidak sepenuhnya keliru. Sebagian warga desa di sekitar Dieng justru diuntungkan oleh mobilitas wisatawan yang lewat karena peluang ekonomi meningkat. Namun, tanpa pembatasan dan edukasi, jalur alternatif bisa berubah menjadi sumber masalah baru.
“Kami paham wisatawan mencari rute tercepat. Tapi sebelum memilih jalur, ada baiknya bertanya dulu ke otoritas lokal. Kondisi di lapangan bisa berubah cepat, terutama saat hujan,” tutur Fahmi.
Ia menekankan pentingnya literasi perjalanan. Menurutnya, wisata berkualitas tidak ditentukan dari kecepatan mencapai tujuan, tetapi dari kesiapan dan kesadaran keselamatan. “Wisata yang aman membutuhkan informasi yang akurat, bukan sekadar petunjuk digital,” ujarnya menegaskan.
Mengapa Jalan Tikus Jadi Favorit
Selain faktor keingintahuan, sebagian wisatawan menganggap jalan tikus menawarkan pengalaman berbeda: melewati perkampungan, memotret lanskap tersembunyi, dan menikmati ketenangan di jalur sepi. Namun, tidak sedikit yang akhirnya menyesal karena jalur tersebut licin, berlubang, dan minim penerangan.
Bagi warga lokal, naiknya popularitas jalan tikus menjadi tantangan tersendiri. Mereka dituntut ikut menyiapkan jalur aman tanpa mengubah karakter lingkungan setempat. Beberapa kelompok sadar wisata (pokdarwis) kini mulai memasang papan pengarah dan papan peringatan di tikungan maupun tanjakan tajam.
“Sebenarnya kami senang banyak yang datang, tapi kalau tidak hati-hati bisa jadi bencana kecil. Kami hanya ingin wisatawan datang dengan persiapan,” ujar Sumarno, pegiat wisata di Desa Sembungan.
Jalan Resmi Tetap Prioritas
Fahmi menegaskan, Pemerintah Kabupaten Wonosobo akan tetap memprioritaskan jalur resmi menuju kawasan wisata, terutama rute Kejajar–Dieng. “Kami tidak menutup alternatif, tapi kami prioritaskan keamanan. Jalur utama sudah cukup representatif bagi kendaraan wisata,” katanya.
Pemerintah daerah juga mulai menyiagakan posko di titik-titik strategis untuk menginformasikan kondisi cuaca dan lalu lintas terkini. Disparbud menggandeng kepolisian, BPBD, dan perhubungan guna mencegah insiden terkait kendaraan yang tersesat di jalan tidak direkomendasikan.
Menjelang libur akhir tahun, arus wisatawan ke Dieng diperkirakan meningkat. Fahmi mengingatkan agar semua wisatawan yang hendak berlibur tetap mengutamakan keselamatan lebih dari kecepatan tempuh. “Kalau ragu, lebih baik tanya dulu daripada tersesat. Jalan tikus tidak selalu jalan keluar,” katanya.

