Wonosobo, satumenitnews.com — Lonjakan harga cabai dan bawang di Wonosobo memasuki akhir tahun ini bukan kejadian baru, tetapi bagian dari pola musiman yang sudah menjadi ritual tahunan dalam sektor pertanian. Curah hujan tinggi, serangan penyakit tanaman, dan naiknya permintaan jelang Natal serta Tahun Baru menjadi kombinasi klasik pendorong kenaikan harga.
Kabid Bina Program Dinas Pertanian dan Pangan (Dispaperkan) Wonosobo menjelaskan, fluktuasi ini sebenarnya bisa diprediksi.
“Musim hujan otomatis menurunkan produktivitas. Panen tidak optimal karena curah hujan tinggi. Biasanya tren harga naik berlangsung Oktober sampai Januari,” ujarnya saat ditemui belum lama ini.
Serangan Patek Turunkan Produksi Cabai
Penyakit patek dilaporkan menyerang sebagian besar lahan cabai sejak Oktober. Kondisi lembab membuat jamur cepat menyebar. “Dalam seminggu saja, luasan tanaman yang kena patek meningkat signifikan. Cabai keriting yang sudah terserang tidak bisa dipertahankan lama,” katanya. Akibatnya, banyak petani menunggu siklus tanam berikutnya dan pasokan pasar pun menipis.
Di tengah kondisi itu, Wonosobo tetap menjadi salah satu pemasok cabai untuk daerah lain. Dari total produksi hortikultura, sekitar 70 persen dikirim keluar wilayah, sedangkan kebutuhan lokal hanya menyerap 30 persen.
Bawang Merah dan Bawang Putih: Masalah di Lahan
Berbeda dengan cabai, produksi bawang merah di Wonosobo justru menurun karena keterbatasan lahan dan perbedaan karakter dataran. Menurut Dispaperkan, varietas bawang merah dataran tinggi seperti bawang karet sebenarnya tumbuh baik, tetapi kurang diminati konsumen. “Kandungan airnya tinggi dan aromanya kurang tajam. Pasar lebih suka bawang Brebes dari dataran rendah,” jelasnya.
Sementara untuk bawang putih, belum banyak petani yang melakukan ekspansi lahan tanam secara signifikan karena pertimbangan teknis dan pasar yang belum stabil.
Program MBG: Tantangan Baru, Pasar Baru
Masuknya program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah pusat membuka peluang sekaligus tantangan bagi sektor pertanian Wonosobo. Dengan puluhan dapur MBG yang sudah beroperasi, kebutuhan sayur dan hortikultura meningkat tajam.
“Harga tetap akan mengikuti mekanisme pasar, tapi bagi kami justru ini peluang. Ada pasar baru yang bisa menyerap hasil panen petani,” kata Kabid Bina Program. Namun, tidak semua komoditas cocok untuk kebutuhan dapur MBG karena spesifikasi bahan dan ketahanan produk berbeda-beda.
Dalam simulasi Dispaperkan, jika 75 dapur MBG beroperasi sepenuhnya, permintaan sayur harian bisa mencapai belasan kuintal. Angka itu dianggap masih aman karena konsumsi lokal belum melampaui sepertiga dari total produksi hortikultura.
Edamame, Komoditas Unggul Wonosobo
Edamame termasuk komoditas yang belakangan dilirik banyak daerah. Produk asal Wonosobo dikenal lebih awet dan segar. “Konsumen dari Jogja bilang edamame kita tahan sampai empat hari tanpa cepat menguning,” ucapnya.
Meski kualitasnya diakui, jumlah pembudidaya edamame masih terbatas. Lahan pertanian yang tidak bertambah membuat petani harus memilih antara menanam cabai atau edamame. “Kalau lahan dialihkan ke edamame, ya produksi cabai pasti menurun, begitu juga sebaliknya,” tambahnya.
Sementara untuk budidaya rumah tangga, edamame bisa ditanam di polybag. Syaratnya, media tanam sehat, cukup sinar matahari, dan memiliki sirkulasi udara baik.
Kebangkitan Budidaya Jamur
Setelah sempat meredup, usaha budidaya jamur tiram kembali hidup. Sekitar tahun 2010–2011 usaha ini sempat booming, namun kemudian meredam karena harga anjlok. Kini, dengan meningkatnya permintaan untuk dapur MBG, minat masyarakat kembali muncul.
“Wonosobo punya potensi bagus untuk budidaya jamur. Bisa di halaman rumah, pekarangan, bahkan di samping rumah. Skala rumah tangga pun bisa jalan,” ujarnya.
Strategi Mengonsolidasikan Petani
Untuk menjaga suplai bahan pangan program MBG dan pasar lokal, Dispaperkan mulai mengonsolidasikan keberadaan kelompok tani di bawah koordinasi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP).
“Ada beberapa kelompok yang kami petakan: kelompok P2L (pekarangan pangan lestari), kelompok dengan greenhouse, dan kelompok tani reguler. Idealnya satu kelompok memasok satu dapur MBG agar pasokan stabil setiap hari,” katanya.
Kebutuhan komoditas seperti wortel, cabai, sawi, dan bayam akan diatur berdasarkan kemampuan panen tiap kelompok. Dinas juga mendorong kemitraan langsung antara petani dan pengelola dapur agar rantai pasok lebih efisien.
Mengembangkan Pasar dari Hulu ke Hilir
Selain menjaga produksi, Dispaperkan kini mulai memperluas perhatian ke sektor pemasaran. Pengembangan agribisnis menjadi langkah penting agar petani tak sekadar produksi tanpa arah pasar.
“Kita ingin PPL tidak hanya mengajari cara menanam, tapi juga mendampingi petani dari sisi usaha: apa yang dibudidayakan, analisis usahanya, hingga strategi pemasarannya,” ujarnya. Saat ini, dari 1.593 kelompok tani yang tercatat di Wonosobo, sekitar 54 persen masih aktif berproduksi.

