Wonosobo, satumenitnews.com – Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Wonosobo menggelar aksi solidaritas di depan Mapolres Wonosobo, Senin (1/12/2025), sebagai respons atas penangkapan paksa dua aktivis di Semarang. Dalam aksi yang berlangsung damai itu, mereka menyebut penggunaan upaya paksa terhadap warga sipil sebagai ancaman serius bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Aksi Damai di Depan Mapolres
Aksi solidaritas ini berlangsung di depan Mapolres Wonosobo dengan cara tertib dan damai, diwarnai poster serta seruan penolakan terhadap penggunaan upaya paksa kepada warga sipil. Massa aksi menekankan bahwa tindakan represif aparat terhadap aktivis tidak sejalan dengan prinsip negara hukum dan menggerus kepercayaan publik terhadap penegak hukum.
PMII Wonosobo menegaskan, penggunaan kekuatan secara paksa oleh aparat dalam konteks kegiatan sipil dapat menjadi pintu masuk pembatasan ruang kritik warga. Mereka menyatakan aksi solidaritas ini menjadi peringatan dini agar praktik serupa tidak dibiarkan berulang dan dinormalisasi dalam kehidupan demokrasi.
Kronologi Penangkapan Dua Aktivis
Aksi solidaritas tersebut merespons penangkapan terhadap dua aktivis, yaitu Adetya Pramandira yang merupakan staf WALHI Jawa Tengah dan Fathul Munif dari Aksi Kamisan Semarang. Keduanya disebut ditangkap aparat sekitar pukul 06.45 WIB, dengan pola yang dinilai mendadak dan menggunakan upaya paksa tanpa ruang dialog.
PMII Wonosobo menilai penangkapan itu sebagai bentuk pembungkaman terhadap gerakan kritik yang selama ini disampaikan melalui jalur konstitusional. Menurut mereka, cara-cara paksa terhadap aktivis justru menunjukkan kegagapan negara dalam mengelola perbedaan pandangan dan aspirasi masyarakat sipil.
Pernyataan Keras Ketua PC PMII Wonosobo
Ketua PC PMII Wonosobo, Ahmad Nur Sholih, mengecam langkah Polrestabes Semarang yang menangkap Adetya dan Munif dengan cara paksa. Ia menilai tindakan tersebut menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia karena menyentuh langsung hak dasar warga negara.
Dalam orasinya, Ahmad menegaskan bahwa penangkapan itu mencederai hak asasi manusia karena mengabaikan prinsip penghormatan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ia juga menilai pola ini mengarah pada kriminalisasi berulang terhadap aktivis yang vokal mengkritik kebijakan negara.
Tolak Kriminalisasi dan Pembungkaman Kritik
PMII Wonosobo menyebut pola penangkapan dan pemrosesan hukum terhadap aktivis sebagai bentuk pembungkaman ruang kritik. Mereka menilai, ketika warga sipil atau kelompok masyarakat sipil menyuarakan pandangan berbeda, mereka justru berhadapan dengan upaya pemidanaan yang tidak proporsional.
Dalam pandangan mereka, praktik demikian berbahaya bagi kebebasan sipil karena membuka ruang kesewenang-wenangan aparat. PMII Wonosobo mengingatkan bahwa kritik merupakan salah satu pilar demokrasi, sehingga memidanakan pengkritik berpotensi mematikan partisipasi publik dalam mengawasi kekuasaan.
Sorotan terhadap Kasus Akhir Agustus–Awal September
Selain kasus penangkapan dua aktivis di Semarang, PMII Wonosobo juga menyoroti penanganan hukum terhadap puluhan orang terkait peristiwa pada akhir Agustus hingga awal September 2025. Mereka menilai proses penanganan kasus-kasus tersebut terkesan serampangan dan minim akuntabilitas.
Menurut PMII, pola penanganan hukum yang tidak transparan dan cenderung menyasar pihak-pihak yang bersuara kritis berpotensi menguatkan praktik kriminalisasi. Pola ini, jika dibiarkan, dapat menimbulkan rasa takut di tengah masyarakat dan mempersempit ruang kebebasan sipil.
Empat Tuntutan Utama PMII Wonosobo
Dalam aksi solidaritas tersebut, PMII Wonosobo menyampaikan empat tuntutan kepada pemerintah dan lembaga negara. Pertama, mereka meminta Presiden Prabowo menggunakan kewenangannya untuk menghentikan proses hukum terhadap para tahanan politik, termasuk Adetya dan Munif.
Kedua, mereka mendesak Kapolri memerintahkan Kapolrestabes Semarang membebaskan keduanya tanpa syarat. Ketiga, mereka menuntut Kapolri menghentikan seluruh bentuk kriminalisasi terhadap aktivis dan kelompok masyarakat sipil. Keempat, mereka meminta Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Ombudsman bergerak aktif memastikan proses hukum yang dinilai bermasalah tersebut dihentikan.
Komitmen Mengawal Ruang Kebebasan Sipil
PMII Wonosobo menegaskan komitmennya untuk terus mengawal kasus penangkapan dua aktivis di Semarang dan rangkaian peristiwa hukum yang menyasar warga sipil. Mereka menyatakan aksi solidaritas di Wonosobo bukan sekadar respons sesaat, melainkan bagian dari perjuangan menjaga ruang kebebasan sipil di Indonesia.
Mereka juga menyebut aksi ini sebagai alarm bagi pemerintah dan aparat penegak hukum bahwa kriminalisasi aktivis tidak dapat dibiarkan menjadi praktik berulang. Bagi PMII Wonosobo, mempertahankan kebebasan berpendapat adalah syarat utama agar demokrasi tetap hidup dan berfungsi bagi seluruh warga negara.

