Wonosobo, satumenitnews.com – Festival Kuliner Legend di Gedung Sasana Adipura Kencana bukan hanya memamerkan deretan stan makanan lawas, tetapi juga membuka kembali memori masa muda Wakil Ketua DPRD Wonosobo, Mugi Sugeng, tentang soto, lotek, hingga burjo di sudut kota yang kini kian ramai. Di tengah riuh pengunjung dan aroma kuliner jadul, ia menyebut ada rasa puas sekaligus “ada yang hilang” dari daftar kuliner legend yang hadir.
Festival Kuliner Legend yang Melampaui Ekspektasi
Festival Kuliner Legend Wonosobo 2025 digelar selama tiga hari, 21–23 November 2025, di Gedung Sasana Adipura Kencana, dan dipadati ribuan pengunjung sejak pagi hingga malam. Event hasil kolaborasi Komunitas Jurnalis Wonosobo dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan ini menghadirkan belasan stan kuliner legend yang selama ini tersebar di berbagai sudut kota, kini berkumpul di satu atap.
Mugi Sugeng mengaku semula hanya melihat promosi festival lewat media sosial dan membayangkan acaranya tidak akan seheboh kenyataan di lapangan. “Bayangan saya itu tidak seheboh dan semeriah ini, tidak sedahsyat ini,” tuturnya ketika menceritakan kesan pertama saat memasuki area parkir yang sudah penuh sesak oleh kendaraan pengunjung.
Dari Parkiran Penuh hingga Keliling Stan
Begitu turun dari mobil dan melihat parkiran yang padat, Mugi mengaku langsung kaget melihat antusiasme warga Wonosobo yang memadati lokasi festival. Ia dan rombongan dari fraksi DPRD kemudian berkeliling menyusuri satu per satu stan kuliner.
“Setelah kita masuk, kita diajak teman-teman panitia muter semua stan-stan itu, ternyata di luar dugaan, banyak kenangan melintas, begitu banyak jenis makanan lokal Wonosobo,” ujarnya. Baginya, kehadiran kuliner lokal yang beragam dalam satu ruang menjadikan festival ini bukan hanya ajang jajan, tetapi juga etalase identitas kota.
Makan di Tempat, Lanjut Bungkus Bawa Pulang
Mugi menegaskan, rombongan DPRD tidak sekadar melihat-lihat deretan kuliner legend yang tersaji. “Kita tidak puas hanya melihat, kita serombongan dari fraksi coba makan, ternyata kita nambah sampai bungkus, serius ini kita bungkus,” kata Mugi sambil tertawa.
Menurutnya, rasa sejumlah menu di festival ini cukup kuat untuk membuat mereka memutuskan membawa pulang hidangan yang baru saja dicicipi. Ia menilai momen itu menunjukkan bahwa festival benar-benar memberi ruang kepada pelaku UMKM untuk membuktikan kualitas rasa di hadapan publik yang datang bergelombang sepanjang hari.
Soto Daroji, Burjo Prapatan, dan Lotek Brug Menceng
Saat ditanya soal kuliner legend yang paling membekas, Mugi tanpa ragu menyebut soto sebagai menu paling sulit ia tinggalkan sejak muda hingga kini. “Saya itu pencinta soto dari dulu, dari saya muda sampai sekarang tua, soto yang sangat susah saya beralih itu satu: soto Daroji,” ungkapnya, sebelum menambahkan bahwa kedai soto favoritnya itu tidak hadir di festival kali ini.
Selain soto, ia juga menyinggung burjo di kawasan Prapatan Poltas yang sudah lama menjadi tempat makan kesukaannya. Dalam percakapan ringan, ia baru mengetahui bahwa burjo tersebut kini memiliki tiga cabang di beberapa titik kota, mulai sekitar Perempatan Sudagaran hingga dekat RSUD, yang menurutnya patut dicoba kembali selepas festival.
Tak ketinggalan, Mugi menyebut lotek di sekitar Brug Menceng sebagai bagian dari daftar kuliner sederhana yang melekat di ingatannya. Ia menyukai hidangan seperti lotek, kupat tahu, hingga brongkos, dan menyebut Brongkos Warung Ijo depan kampus UNSIQ Kalibeber yang dikelola Mbak Ibah, langganan lama dari masa MTs sebagai salah satu favorit pribadi di luar arena festival.
Sisilia dan Cerita Es Campur yang Tertinggal
Dalam sesi wawancara, kami sempat menggoda dengan pertanyaan soal Depot Es Sisilia, sebuah tempat es campur yang dikenal luas warga Wonosobo. Momen itu berkembang menjadi obrolan ringan tentang “dulu ke Sisilia sama siapa” yang memancing tawa, sekaligus menunjukkan bahwa Sisilia adalah bagian dari memori kuliner dan pergaulan masa muda pada jamannya.
Meski namanya muncul dalam percakapan, Depot Es Sisilia tidak termasuk dalam jajaran stan Festival Kuliner Legend tahun ini. Bagi Mugi, kehadiran nama-nama seperti Sisilia akan membuat daftar kuliner legend di festival kian lengkap, karena menghubungkan rasa dengan cerita personal warga kota.
Sederhana, Tidak Muluk, tapi Melekat di Lidah
Menjelaskan soal selera pribadi, Mugi menyebut dirinya pencinta makanan sederhana yang akrab di lidah. “Saya itu pencinta makanan, tapi makanan sederhana. Jadi ya itu tadi: soto, bakso, dan yang tidak muluk-muluk,” ucapnya.
Ia menilai, kuliner legend Wonosobo justru kuat karena kesederhanaannya, baik dari bahan maupun cara penyajian, namun mampu meninggalkan kesan mendalam bagi penikmatnya. Bagi Mugi, kekuatan itu yang perlu terus dijaga melalui ruang-ruang seperti festival agar generasi baru tetap mengenal dan menikmati rasa yang sama.
Sagon Hadir, Rangin Dicari, Daroji Diusulkan
Saat diminta menyampaikan masukan bagi penyelenggara Festival Kuliner Legend, Mugi mendorong agar panitia semakin selektif dan berani mengundang lebih banyak pelaku kuliner legend yang benar-benar mengakar di Wonosobo. “Kalau saran, mungkin banyak melibatkan lagi UMKM, pelaku-pelaku UMKM itu, usaha yang betul-betul legend,” katanya.
Ia sempat menyebut sudah melihat sagon di deretan stan, namun mengaku tidak menemukan rangin yang menurutnya juga layak hadir di festival. Mugi bahkan menyinggung kembali soto Daroji sebagai contoh kuliner yang telah lama hidup dalam ingatan warga dan perlu dihadirkan pada gelaran berikutnya, agar festival benar-benar menjadi cagar kuliner legend Wonosobo.