Wonosobo, satumenitnews.com – Berawal dari obrolan santai di grup WhatsApp, sesi ngopi darat kedua digelar lebih tematik pada Jumat (13/6/2025) di Latar Sidojoyo, Wonosobo. Forum ini menghadirkan Suryo Kurniadi, tokoh di balik platform Padigital.tech, yang menawarkan konsep distribusi pertanian berbasis digital. Salah satu peserta, Tri Makno, memberikan pandangan kritis terhadap gagasan ini, terutama terkait tantangan implementasi di tingkat akar rumput.
Obrolan Santai Jadi Forum Serius Bahas Pertanian Digital
Kegiatan yang bermula dari inisiatif komunitas ini mengangkat tema transformasi pertanian melalui teknologi. Dalam paparannya, Suryo Kurniadi menjelaskan sistem Padigital sebagai upaya memotong rantai distribusi hasil tani agar petani mendapatkan harga maksimal dan konsumen menikmati harga yang lebih terjangkau.
Tri Makno, yang hadir sebagai peserta, menilai forum ini penting sebagai ruang artikulasi suara publik. “Forum seperti ini bisa menjembatani noise di masyarakat menjadi voice yang terdengar dan diperhatikan,” ujarnya.
Apresiasi pada Ide, Catatan Kritis pada Eksekusi
Tri juga mengapresiasi arah kebijakan pemerintah yang mulai berpihak pada masyarakat kecil. Ia menyinggung program seperti Koperasi Merah Putih dan kini Padigital, yang menurutnya menunjukkan keberpihakan Presiden Prabowo pada petani.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa ide besar tidak selalu mudah diterapkan. “Ini wacana yang bagus, tapi saya baru pertama kali mendengarnya. Jadi masih tahap embrio,” kata Tri.
Menurutnya, meskipun desain konsep Padigital sangat menjanjikan, persoalan utama justru terletak pada level pelaksana. Ia menyebut, “The devil is in the details apakah petani betul-betul paham sistem ini? Bisa menjual produknya dengan kontrak? Punya kualitas dan data hasil tanam yang bisa dipertanggungjawabkan?”
SDM Petani dan Responsivitas Aparatur Jadi Tantangan
Tri Makno menyoroti rendahnya kapasitas SDM petani sebagai tantangan besar dalam implementasi Padigital. Selain itu, ia juga menilai aparatur pemerintahan kerap tidak responsif terhadap persoalan nyata di lapangan.
“Mereka cenderung hanya menjalankan perintah, bukan menyelesaikan masalah,” ujarnya tegas. Menurutnya, keberhasilan program tergantung pada bagaimana detail teknis ini dipahami dan dilaksanakan di tingkat desa dan kecamatan.
Harapan pada Pemerintah Daerah dan Supervisi Pusat
Dari sisi pemerintahan, Tri melihat adanya semangat dari Pemkab dan pemda dalam menyambut program ini. Namun ia mengingatkan bahwa semangat itu harus diiringi aksi nyata.
“Kita pernah punya program Good Estate Bawang Putih, tapi tidak direplikasi. Jadi hanya seremoni,” kritiknya. Ia berharap ada mekanisme replikasi, supervisi, dan asistensi dari pusat agar program tidak mandek di konsep.
Pendampingan dan Perubahan Mindset Jadi Kunci
Tri menekankan pentingnya perubahan pola pikir petani. Menurutnya, petani harus mulai melihat pertanian sebagai usaha industri, bukan sekadar tradisi musiman. Untuk itu, pendampingan harus dilakukan oleh banyak pihak, termasuk penyuluh pemerintah (PPL), pelaku usaha, dan LSM.
“Petani harus terencana dan terfinansir, bukan sekadar menunggu musim atau harga naik,” tegasnya.
Tri juga mengingatkan bahwa karakter paternalistik petani Indonesia yang cenderung mengikuti tokoh panutan bisa menjadi peluang sekaligus tantangan. Pendampingan di lapangan tidak boleh hanya sekadar hadir, tetapi harus dipandu dengan paradigma jelas dan tujuan konkret.
“Kalau hanya menjalankan tugas, bukan mencari solusi, hasilnya tidak akan maksimal,” tambahnya.
Moderator kegiatan, Setiawan Pancaraharja atau akrab disapa Gee, menyatakan kegiatan ini akan berlanjut dengan sesi-sesi tematik berikutnya. Termasuk kemungkinan seleksi peserta bimbingan teknis (bintek) untuk mendalami Padigital lebih jauh.
“Tujuannya agar misi membangun Wonosobo melalui kolaborasi antara pertanian dan teknologi bisa tercapai,” ujar Gee.