Wonosobo, satumenitnews.com – Kepala Bidang Pemasaran atau Kabid Promosi Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Wonosobo, Fatonah Ismangil, tampak larut menikmati suasana Festival Kuliner Legend di Gedung Sasana Adipura Kencana, Sabtu (22/11/2025). Ia datang tidak sendiri, tetapi mengajak suami dan dua anaknya untuk merasakan langsung kuliner-kuliner lawas yang kembali dihidupkan dalam festival hasil kolaborasi Komunitas Jurnalis Wonosobo (KJW) dan Disparbud Wonosobo.
Datang Kedua Kali, Kali Ini Ajak Keluarga
Fatonah mengaku kunjungannya kali ini bukan yang pertama selama gelaran Festival Kuliner Legend. Ia sempat hadir pada hari sebelumnya hanya untuk meninjau secara singkat sebagai bagian dari tugas dinas. “Kemarin saya cuma meninjau sebentar, melihat situasi dan tenant-tenantnya,” ujar Fatonah.
Berbeda dengan hari pertama, pada Sabtu ia memutuskan datang sebagai pengunjung yang ingin menikmati suasana bersama keluarga. “Hari ini saya mengajak keluarga saya, suami dan kedua anak saya, untuk benar-benar menikmati event ini,” tuturnya. Menurutnya, festival ini menjadi momen yang tepat untuk mengenalkan kuliner-kuliner masa kecilnya kepada anak-anak yang tumbuh di era makanan serba modern.
Kesan Pertama: “Wow, Performnya Beda”
Begitu memasuki area Sasana Adipura Kencana, Fatonah langsung merasakan atmosfer yang menurutnya tidak biasa. “Yang terlintas pertama kali itu ‘wow’, performnya beda,” kata Fatonah. Ia menilai tata panggung dan stan kuliner sengaja dibuat tidak seperti expo kuliner modern.
“Istilah ‘legend’ ini kan menandakan sesuatu yang sudah berlangsung lama, dari dulu sampai sekarang masih bertahan. Makanya performnya dibuat seperti masa lalu, ada bambu, ada gedeknya,” jelasnya. Menurut dia, suasana yang dibuat menyerupai tempo dulu justru menguatkan pesan bahwa kuliner yang dihadirkan bukan sekadar tren sesaat, tetapi bagian dari cerita panjang Wonosobo.
Gerobak, Burjo, dan Kuliner “Jadul” yang Kembali Hidup
Salah satu hal yang membuatnya terkesan adalah cara pedagang menata tempat jualannya. “Penampilannya juga unik, banyak yang bawa gerobak-gerobaknya sendiri,” ujarnya. Di antara deretan tenant, ia menyebut ada burjo, mie ongklok, sagon, sate ayam, hingga sajian khas lain yang akrab di masa kecilnya.
“Ada burjo, ada mie ongklok, ada sagon, ada sate ayam yang khas-khas dan jadul-jadul, yang zaman saya kecil itu sudah ada,” kata Fatonah. Ia mengingatkan, sebagian kuliner itu mungkin terasa baru bagi generasi anak-anak sekarang. “Saya besar di Wonosobo, jadi saya bisa menikmati makanan-makanan ini sejak kecil, beda dengan anak saya yang mungkin baru mengenalnya setelah saya kenalkan,” lanjutnya.
Nostalgia: Dari Ronde Pak Kumis sampai Restoran Asia
Dalam wawancara, Fatonah menyebut beberapa nama yang menjadi penanda rasa masa kecilnya di Wonosobo. “Dulu ada burjo Prapatan, kemudian ronde Pak Kumis yang dulu di Pius itu, kemudian ada restoran Asia,” ujarnya. Restoran Asia, di matanya, dulu identik dengan tamu luar kota dan wisatawan.
“Kalau restoran Asia itu dulu saya cuma lewat saja, lihat kiri-kanan, karena rakyat biasa ya. Restoran Asia identik dengan tamu-tamu dari luar Wonosobo, wisatawan, kebanyakan high-class lah,” ucapnya sambil tersenyum. Kini, ia merasa bersyukur bisa ikut menikmati menu yang dulu hanya bisa ia lihat dari kejauhan. “Ternyata makanannya yang dulu dijual, waktu saya masih kecil tidak bisa menikmati, sampai sekarang dewasa seperti ini ternyata sama makanannya, Alhamdulillah masih bertahan,” katanya.
Sagon, Tempe Kemul, dan Entok yang “Pasti Laris”
Di antara banyak kuliner legend, Fatonah mengaku punya favorit pribadi. “Sagon terutama itu hobi saya dari kecil, dulu saya sering jajan sagon,” ungkapnya. Ia juga menyebut tempe kemul sebagai salah satu ikon khas Wonosobo yang hadir di festival, disusul sate jamur dan beberapa olahan lain.
Tak ketinggalan, ia menyinggung entok gobyos yang belakangan ramai dikenal. “Kalau entok gobyos mungkin belum lama ya, cuma entoknya yang sudah lama. Opor entok itu terkenal sekali,” jelasnya. Menurut dia, olahan entok sudah lama menjadi primadona di Wonosobo. “Siapapun yang jual itu pasti laris lah pokoknya, tidak cuma satu dua pedagang saja, itu juga legend di Wonosobo,” tambahnya.
Mengapa Festival Ini Diselenggarakan
Fatonah kemudian menjelaskan alasan di balik penyelenggaraan Festival Kuliner Legend yang melibatkan KJW. “Inilah kenapa kegiatan ini kita selenggarakan, bekerja sama dengan Komunitas Jurnalis Wonosobo, KJW,” katanya. Ia menyampaikan terima kasih kepada para jurnalis yang telah menginisiasi dan mendorong kolaborasi ini.
“Terima kasih kepada teman-teman Komunitas Jurnalis Wonosobo yang sudah menginisiasi terselenggaranya kegiatan ini,” ucapnya. Menurut dia, festival ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari kerja bersama antara komunitas dan pemerintah daerah. “Ini berkolaborasi dengan Dinas Pariwisata dalam hal pelestarian kuliner tradisional Wonosobo,” lanjutnya.
Gerakan “Cagar Kuliner” Wonosobo
Dalam perspektif Disparbud, kuliner tradisional tidak boleh dipandang sekadar sebagai komoditas dagang. “Kuliner ini memang harus dijaga kelestariannya, jadi kita punya gerakan cagar kuliner,” terang Fatonah. Ia menegaskan, selama ini yang dikenal publik mungkin lebih banyak cagar budaya dalam bentuk benda, bangunan, atau situs fisik.
“Di sini tidak hanya cagar budaya saja secara bendawi, tetapi kuliner ini masuk di dalam aspek kebudayaan yang harus dilestarikan,” jelasnya. Ia mengaitkan hal itu dengan kerangka besar kebudayaan daerah. “Kita punya 10 pokok kemajuan kebudayaan daerah, salah satunya pengetahuan tradisional, dalam hal ini di dalamnya ada kuliner,” tambahnya.
Ajak Warga Ikut Melestarikan Kuliner Wonosobo
Sebagai bagian dari masyarakat Wonosobo sekaligus pejabat di Disparbud, Fatonah mengajak semua pihak terlibat. “Kita sebagai salah satu bagian dari masyarakat Wonosobo, bersama-sama ayo kita lestarikan makanan-makanan Wonosobo,” ujarnya. Ia menekankan bahwa pelestarian bukan hanya tugas pedagang atau pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama.
“Kita lestarikan dan juga kita kenalkan kepada generasi sekarang. Makanan-makanan jadul itu tidak kalah enaknya dengan makanan-makanan sekarang,” tegasnya. Ia menggarisbawahi, di balik kelezatan kuliner legend, terdapat pengetahuan dan teknik yang tidak sederhana. “Bahkan prosesnya itu butuh pengetahuan yang tidak sederhana, betul-betul menjadikan kuliner-kuliner itu bisa dinikmati dari generasi ke generasi,” sambungnya.
Identitas Rasa yang Dijaga Pedagang Legend
Fatonah menaruh apresiasi besar kepada para pedagang yang konsisten menjaga kualitas. “Para penjual ataupun pedagang kuliner-kuliner legend ini bisa mempertahankan ciri khasnya, bisa mempertahankan rasanya,” katanya. Ia menilai, keteguhan para pelaku usaha kuliner dalam menjaga identitas rasa adalah kunci mengapa kuliner tersebut layak disebut “legend”.
“Mereka bisa mempertahankan apa saja yang memang menjadi identitas mereka,” ujarnya. Karena itu, ia menilai perlu ada dukungan nyata agar usaha-usaha tersebut tidak gulung tikar. “Itulah bagian-bagian yang memang harus kita support, harus kita bantu supaya kuliner-kuliner ini tidak punah,” tegasnya.
Butuh Kolaborasi: Pemerintah, UMKM, dan Komunitas
Dari sisi pemerintah daerah, Fatonah menegaskan perlunya kolaborasi luas. “Kami sebagai Pemerintah Kabupaten Wonosobo dalam hal ini melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tentunya sangat membutuhkan kerja sama, kolaborasi dari semua pihak,” ujarnya. Ia tidak ingin festival semacam ini dipandang hanya sebagai program sesaat.
“Tidak hanya dari Komunitas Jurnalis Wonosobo saja, tapi dari semua pihak. Dari para pemangku kebijakan, teman-teman UMKM, unsur-unsur pengusaha dan lain sebagainya,” jelasnya. Ia kembali mengajak, “Bareng-bareng yuk kita lestarikan budaya ini dalam bentuk kuliner, sebagai salah satu daya tarik wisata yang sangat efektif untuk bisa menarik wisatawan ke Wonosobo.”
Kuliner Legend sebagai Daya Tarik Wisata
Sebagai Kabid Pemasaran Pariwisata, Fatonah melihat potensi besar kuliner legend untuk mendorong kunjungan wisata. Menurutnya, wisatawan yang datang ke Wonosobo tidak hanya mencari panorama alam, tetapi juga pengalaman rasa yang unik. “Kebutuhan wisatawan di Wonosobo salah satunya adalah mengeksplor kuliner khasnya yang ada di Wonosobo,” ujarnya.
Dalam pandangannya, event seperti Festival Kuliner Legend dapat membantu meningkatkan angka kunjungan wisata. “Tentunya dalam hal ini akan membantu atau mendukung peningkatan kunjungan wisata di Wonosobo,” katanya. Ia mengisyaratkan, jika respons publik terus positif, festival ini bisa menjadi agenda rutin. “Ini mungkin menjadi salah satu alternatif, ke depannya event-event seperti ini sering dilaksanakan di Wonosobo,” harapnya.
Jejak Kuliner Masa Muda Fatonah
Di sela-sela wawancara, Fatonah juga menyinggung tempat-tempat kuliner yang lekat dengan masa mudanya. “Waktu saya sekolah, kuliner yang khas itu di Sisilia, tapi ini kok tidak ikut ya Sisilia,” katanya. Sisilia yang ia maksud adalah depot es yang populer di kalangan anak sekolah era 90-an.
“Itu depot es, tempat nongkrong anak-anak sekolah zaman segitu, ABG-ABG. Ada depot es namanya Sisilia, itu tempat nongkrong kita anak-anak muda,” kenangnya. Selain itu, ada pula sate ayam Pak Dal di Kertek yang sering dipesan oleh sekolah tempat ayahnya bekerja. “Sering sekali memesan sate ayam Pak Dal ini dengan lontongnya yang besar-besar, terus dibawa pulang ke rumah. Itu jadi kelangenan, kalau bapak saya tidak membawakan itu rasanya ada yang kurang,” cerita Fatonah.
Pasar Induk dan Sagon yang Melekat
Kenangan lain datang dari Pasar Induk Wonosobo di masa bangunan pasar belum bertingkat. “Zaman segitu pasar Induknya belum ada tingkatnya, pasar Induk itu biasa. Di situ berkumpul pedagang-pedagang sagon, kemudian ada soto sapi dan lain sebagainya,” ujarnya. Dari kebiasaan itulah kegemarannya pada sagon terbentuk.
“Saya selalu diajak ibu saya, kalau ibu belanja ke pasar, beli sagon di Pasar Induk,” kata Fatonah. Ia mengakui, dulu tidak banyak tempat nongkrong seperti kafe dan warung kekinian sekarang. “Dulu tidak banyak tempat-tempat nongkrong seperti sekarang. Jadi tempat-tempat yang sering saya kunjungi waktu masih kecil ya itu: depot es Sisilia, sagon di Pasar Induk, kemudian sate ayam Pak Dal,” pungkasnya.