Wonosobo, satumenitnews.com – Tepatnya di Dusun Brokoh, Desa Pancurwening, Kecamatan Wonosobo, seorang pemuda bernama Dwi Prasetyo menekuni usaha produksi baklok jamur sejak tahun 2007. Memulai dari keterbatasan ekonomi dan pengalaman kerja sebagai marketing jamur, Dwi kini menjadi salah satu produsen baklok jamur terbesar di kawasan Jawa Tengah.
Memulai dari Krisis, Bangkit Lewat Jamur
Ketika duduk di bangku kelas 3 SMA, Dwi memilih berhenti sekolah karena kondisi ekonomi keluarga. “Awalnya usaha ini dijalankan kakak saya, tapi tidak berlanjut. Saya mulai sendiri setelah bekerja sebagai marketing jamur kuping dan jamur tiram di Parakan,” ujarnya.
Bermodal semangat, ia mencoba produksi baklok dengan alat seadanya. Hanya bermodal drum untuk sterilisasi, Dwi memulai eksperimen awal. “Waktu itu cuma bisa 50 sampai 100 baklok,” kenangnya. Namun dalam waktu tiga tahun, tepatnya pada 2010–2012, ia sudah mampu menerima pesanan dalam jumlah besar dan mempekerjakan 15 karyawan.
Namun keberhasilan itu tak bertahan lama. “Saya sempat bangkrut. Beralih jadi marketing rokok, lalu suplier buah. Tapi saat COVID-19 melanda, saya memutuskan kembali ke jamur,” tuturnya.
Permintaan Tinggi, Produksi Hingga 2.000 Baklok Sehari
Kini, Dwi mampu memproduksi hingga 2.000 baklok per hari. Jam operasional normal berlangsung dari pukul 08.00 hingga 15.00 WIB. Saat pesanan membludak, ia bersama timnya lembur hingga pukul 22.00.
Wilayah distribusinya meliputi seluruh kabupaten dan kota di Jawa Tengah. “Kalau luar Jawa Tengah, kami belum melayani langsung, tapi kami arahkan ke produsen di daerah tersebut,” jelasnya.
Baklok hasil produksinya dijual seharga Rp2.500 per unit. Tak hanya menjual, Dwi juga mendampingi petani jamur dari proses penataan baklok hingga panen. Ia bahkan membeli kembali hasil panen petani dengan harga Rp15.000 per kilogram.
Bangun Kemitraan, Dorong Anak Muda Terjun ke Jamur
Tak berhenti pada produksi, Dwi juga menjalankan program kemitraan. “Kami buat sistem 5.000 baklok per mitra, didampingi selama 7 bulan, dari perawatan sampai panen pertama,” paparnya. Jika petani rugi, ia akan memberikan ganti untung. Jika untung besar, hasilnya untuk petani.
Ia berharap lebih banyak anak muda melirik usaha ini. “Potensi ekspor jamur itu besar, terutama jamur kuping. Pernah ada permintaan ekspor ke luar negeri via Batam, tapi harus satu kontainer sebulan. Saya belum bisa penuhi,” ucapnya.
Kelangkaan dan Kendala Bahan Baku
Meski peluang besar, usaha jamur tak lepas dari kendala. Salah satu masalah utama adalah bahan baku berupa limbah serbuk kayu. “Sekarang susah didapat dan mahal,” kata Dwi. Proses pembuatan baklok sendiri memakan waktu empat hari, mulai dari pencampuran media, pengepresan, sterilisasi, hingga pembibitan.
Modal yang dibutuhkan juga tidak kecil. “Satu set peralatan produksi untuk 2.000 baklok butuh Rp500 juta, termasuk bangunan. Tapi dari situ saya bisa punya dua alat sterilisasi dan lahan produksi sendiri,” tuturnya.