Wonosobo, satumenitnews.com — Di sudut Desa Kalisuren, Kecamatan Kertek, aroma khas gorengan Combro menyeruak dari dapur sederhana milik Bu Muzah. Wanita paruh baya ini telah memproduksi combro selama lebih dari dua dekade—tepatnya sejak ia masih mengandung anak pertamanya yang kini berusia 25 tahun.
Combro, makanan ringan berbahan dasar singkong parut dan sedikit cabai, memang bukan makanan baru bagi warga Wonosobo. Tapi di tangan Bu Muzah, makanan tradisional ini menjelma menjadi ikon lokal yang kini dikenal hingga luar kota.
Dari Dapur Mertua ke Pasar Raya
Awal mula usaha combro ini bukan datang dari rencana bisnis matang. Semuanya bermula dari kebiasaan ibu mertua Bu Muzah yang membuat combro secara tradisional. Sebagai pendatang di Desa Kalisuren, Bu Muzah awalnya tidak tahu cara membuat combro.
“Saya dulu cuma bantu-bantu saja. Lama-lama saya belajar, dan akhirnya bisa sendiri,” ucap Bu Muzah saat ditemui di rumah produksinya, 14/05/2025
Dengan ketekunan dan proses belajar dari dapur mertua, ia akhirnya memproduksi combro sendiri dan menjualnya ke sekitar Pasar Kretet serta pinggir jalan raya. Saat itu, harga jualnya masih rendah dan pemasaran pun terbatas.
Nama “Combromanina” dan Kisah di Baliknya
Titik balik datang ketika salah satu warga setempat menyarankan agar produk combro ini dipasarkan lebih luas. Dari ide sederhana itu lahirlah nama “Combromanina” — yang di kelola oleh pengepul lokal yang kemudian menembus pasar luar kota.
“Awalnya coba-coba dikasih nama, ternyata responnya bagus. Mulai banyak yang pesan,” katanya.
Sejak saat itu, permintaan mulai berdatangan. Tak hanya dari Wonosobo, tapi juga dari kota-kota sekitar. Cita rasa gurih dan renyah khas Combro yang berasal dari Kalisuren pun mulai dikenal luas.
Dikerjakan Mandiri, Dukungan Minim
Meski permintaan tinggi, usaha ini masih dijalankan sendiri tanpa karyawan. Bu Muzah mengerjakan semua tahapan produksi secara manual—dari memarut singkong, menggoreng, hingga mengemas.
Pemerintah desa pernah memberikan bantuan alat produksi berupa tampah, kompor, dan sealer. Namun secara umum, keterbatasan modal masih menjadi tantangan utama. Terlebih lagi, sebagian besar pengepul membayar secara kredit, yang membuat arus kas usaha terganggu.
“Kadang nunggak lama, tapi ya tetap saya layani karena sudah langganan,” ujarnya.
Combro dan Harapan Pelestarian Kuliner Lokal
Kini, meskipun tanpa promosi besar-besaran, Combro Jombromanina tetap eksis. Rasanya yang otentik membuat pelanggan setia terus datang. Baik warga lokal maupun pendatang yang mampir ke Wonosobo, banyak yang mencari cemilan ini untuk oleh-oleh.
Bu Muzah berharap ada lebih banyak dukungan nyata dari pemerintah maupun lembaga terkait agar usaha kecil seperti miliknya bisa terus bertahan dan berkembang.
“Kalau ada bantuan modal atau pelatihan pemasaran, pasti bisa lebih maju,” katanya, sambil terus mengaduk adonan singkong di dapurnya yang sederhana namun penuh cerita.