Wonosobo, satumenitnews.com – Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Wonosobo mengakui masih banyak pondok pesntren yang belum berizin dan belum terdata tuntas dalam sistem EMIS, meski jumlah lembaga TPQ, Madin, dan pesantren di daerah ini terus bertambah. Kondisi ini membuat penyaluran insentif guru, standarisasi bangunan, hingga penyusunan kebijakan pendidikan keagamaan belum bisa menjangkau seluruh lembaga secara merata.
Kepala Kemenag Kabupaten Wonosobo, Panut, menjelaskan pihaknya sedang menggelar evaluasi dan validasi data lembaga pendidikan keagamaan di seluruh kecamatan. Ia memerinci sasaran kegiatan ini meliputi TPQ, Madin, dan pondok pesantren yang selama ini menjadi rujukan pendidikan agama masyarakat.
“Hari ini kami mengadakan evaluasi dan validasi data, terutama TPQ, Madin, dan pondok pesantren yang ada di Kabupaten Wonosobo,” kata Panut.
Menurutnya, pendataan ini penting agar publik mengetahui secara jelas jumlah lembaga, profil ustaz, dan tenaga pengajar yang selama ini bekerja di akar rumput pendidikan Islam.
Tujuan Verval dan Peran EMIS
Panut menyebut ada dua tujuan utama dari verifikasi dan validasi tersebut. “Pertama, kami ingin mengecek keberadaan lembaga, apakah masih aktif atau tidak. Kedua, kami cek kondisi EMIS yang berisi data sarana prasarana, kelembagaan, ustaz, santri sampai kurikulum,” ujarnya.
EMIS (Electronic Management Information System) menjadi basis data resmi yang dipakai pemerintah dalam menyusun kebijakan dan menyalurkan program. Karena itu, lembaga yang tidak tercatat atau datanya tidak terbarui di EMIS berisiko tidak tersentuh program bantuan dan intervensi kebijakan.
Program Kanwil yang Dipusatkan di Kabupaten
Panut menegaskan, agenda verval sejatinya merupakan program Kantor Wilayah Kemenag Jawa Tengah. “Sebenarnya acara ini kegiatan dari Kanwil. Namun karena ada delapan kegiatan serentak hari ini, untuk Wonosobo dipusatkan oleh Kemenag kabupaten,” jelasnya.
Dengan pola ini, Kemenag Wonosobo bisa lebih fokus mengawal kualitas data di wilayahnya sendiri. Panut menilai, tanpa data yang bersih dan mutakhir, upaya pembenahan lembaga pendidikan keagamaan hanya akan berjalan sporadis.
227 Pondok Pesantren, 800-an Madin
Berdasarkan data awal di EMIS, jumlah pondok pesantren di Kabupaten Wonosobo tercatat sebanyak 227 lembaga. Panut mengungkap, ketika dicek satu pekan lalu, baru 155 pondok yang datanya berstatus “beres” di sistem, sedangkan saat ini jumlahnya meningkat menjadi 195 pondok.
“Ini masih jadi PR besar, karena sejatinya TPQ, Madin, maupun pondok membutuhkan tenaga admin nonkependidikan, khususnya yang menguasai IT,” kata dia. Di luar pondok pesantren, jumlah TPQ dan Madin saat ini diperkirakan mencapai sekitar 800-an lembaga yang tersebar di hampir seluruh kecamatan.
Kekurangan SDM IT, Lahir Skema Admin Kecamatan
Panut mengakui tidak semua lembaga memiliki SDM yang mumpuni di bidang teknologi informasi. Banyak pengelola masih mengandalkan pencatatan manual, sementara pengisian EMIS menuntut kemampuan digital yang lebih tinggi.
“Karena tidak semua lembaga punya SDM IT, kami tugaskan admin per kecamatan,” ujarnya.
Dengan skema ini, ketika ada lembaga yang mengalami kendala mengakses atau mengisi EMIS, admin kecamatan dapat langsung turun tangan membantu dan mendampingi.
Contoh Praktik di Kecamatan Sapuran
Ia mencontohkan pola yang berjalan di Kecamatan Sapuran. Di wilayah ini, beberapa lembaga memiliki SDM IT yang cukup baik dan kemudian diminta menjadi penghubung bagi lembaga lain.
“Modelnya seperti ini: misalnya di Sapuran ada beberapa lembaga dengan SDM IT baik, SDM tersebut kami jadikan penghubung dan koordinator,” jelas Panut.
Menurutnya, pola jejaring semacam ini diharapkan bisa mempercepat pembenahan data sekaligus menumbuhkan budaya administrasi yang lebih tertib di lingkungan pondok pesntren dan Madin.
Peningkatan TI, Sarpras Masih Tertinggal
Dari sisi penyelenggaraan pendidikan dan penguasaan teknologi informasi, Panut menilai tahun 2024 menunjukkan tren positif. “Alhamdulillah, dari segi pendidikan dan IT, pesantren sekarang ini jauh lebih baik,” katanya.
Namun untuk urusan sarana dan prasarana, ia mengakui kondisinya masih tertinggal.
“Untuk sarpras, ini masih jadi PR bersama. Saat ini kami sedang melakukan pendataan sarpras bekerja sama dengan Pemda, Kesbangpol, dan PUPR,” ujarnya.
IMB yang Hilang, SLF Jadi Solusi
Panut menyebut banyak pondok pesantren berdiri jauh sebelum aturan perizinan bangunan diterapkan secara ketat. “Banyak pondok yang tidak punya IMB karena bangunannya sudah lama dan dibangun swadaya,” katanya.
Sebagai respon, Kemenag mendorong penerbitan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) untuk bangunan yang sudah terlanjur berdiri. “Kami mengajukan ke PUPR agar pondok dengan luasan di bawah 1.000 meter persegi bisa digratiskan biaya SLF, mengingat mereka lembaga sosial,” jelasnya.
Untuk pondok dengan bangunan di atas 1.000 meter persegi, ia tetap mengusulkan adanya skema keringanan biaya.
PBG untuk Bangunan Baru, SLF untuk Bangunan Lama
Panut mengurai perbedaan aturan PBG dan SLF di lapangan. “PBG itu sekarang berlaku untuk lembaga yang ingin mendirikan bangunan baru. Kalau bangunan sudah berdiri, yang dibutuhkan SLF,” paparnya.
Ia menyinggung kasus Al-Hodzini yang menjadi peringatan soal keselamatan bangunan pesantren. “Pasca kasus Al-Hodzini, kami makin intens berkoordinasi dengan Pemda agar standar bangunan pesantren lebih aman dan sesuai regulasi,” kata Panut.
PR Terbesar: Standarisasi Bangunan Swadaya
Menurut Panut, karakter umum pembangunan pesantren di Wonosobo masih mengandalkan swadaya masyarakat tanpa didampingi konsultan teknik. “Sebagian besar pesantren membangun secara swadaya. Ada dana, beli material, lalu bangun. Tidak ada perencanaan teknis yang tepat,” ujarnya.
Pola ini membuat standarisasi bangunan menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar. Banyak gedung dengan kualitas struktur, tata ruang, dan jalur evakuasi yang tidak seragam, sehingga menantang ketika pemerintah mulai mendorong penerapan standar keselamatan minimal bagi pondok pesantren.
Kekuatan Madin: Keikhlasan Ustaz
Di tengah berbagai persoalan infrastruktur dan data, Panut justru melihat Madin sebagai titik kekuatan. “Menurut saya, Madin masih kuat karena ditopang keikhlasan ustaz dan guru dalam mengajar,” katanya.
Ia menyebut, santri Madin yang membayar SPP jumlahnya sangat kecil. “Guru Madin atau santri Madin yang bayar SPP itu bisa dihitung dengan jari. Kadang muncul persepsi, ngaji kok bayar. Ini tantangan edukasi ke masyarakat,” ujarnya.
Bagi Panut, semangat pengabdian para ustaz menjadi modal utama keberlangsungan Madin.
Peluang Pesantren Formal Akses Bantuan
Panut menilai, pesantren formal memiliki peluang yang berbeda dibanding Madin nonformal. “Pesantren formal bisa membuka madrasah formal atau pendidikan lain, sehingga bisa mendapat berbagai bentuk bantuan pemerintah,” katanya.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa penguatan keduanya perlu berjalan beriringan. Madin tetap menjadi basis pengajaran kitab dan penguatan akidah di tingkat akar rumput, sementara pesantren formal membuka jalan bagi lulusan untuk mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Insentif Guru: Data Besar, Masalah Juga Besar
Terkait kesejahteraan guru, Panut menegaskan insentif tetap ada setiap tahun. “Dari provinsi ada sekitar 10 ribuan penerima, termasuk guru pesantren dan Madin. Dari Pemda, insentif yang tersalurkan sekitar 600-an penerima,” paparnya.
Menjawab masalah penyaluran insentif, Panut menyebut akan ada perubahan besar di tahun depan.
“Untuk 2025, sistemnya sudah berbeda. Kami menggunakan basis data EMIS, sehingga semua ustaz yang masuk database itulah yang diusulkan menerima insentif,” jelasnya.
Dengan cara ini, ia berharap penerima insentif otomatis sesuai dengan data aktual dan mengurangi sengketa administratif. “Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang lebih manual, sehingga muncul berbagai persoalan,” ujarnya.
Pondok Pesantren Belum Berizin Masih Menyebar
Panut mengakui bahwa di Wonosobo masih ada pondok pesantren yang belum berizin. “Masih ada, dan ini menjadi tugas kami bersama Pak Fakih untuk mendata semuanya,” tegasnya.
Ia menambahkan, pondok yang sudah lama berdiri pun tetap harus divalidasi apakah EMIS-nya berjalan atau tidak.
“Pemerintah sekarang hanya bisa membuat kebijakan berdasarkan data dari EMIS. Kalau lembaga tidak muncul di EMIS, otomatis tidak bisa dilibatkan dalam kebijakan,” ujarnya.
Pesantren Tak Berizin: Baru, Lama, hingga “Restorasi”
Soal angka pasti pesantren tak berizin, Panut belum bisa menyebutkan. “Untuk jumlah pastinya, kami belum tahu angka yang benar-benar pasti. Namun hampir di setiap kecamatan masih ada pondok yang belum terdaftar,” katanya.
Jenis pondoknya pun beragam. “Ada pondok baru, pondok lama, atau pondok yang dulu berdiri kemudian tidak aktif lalu bangkit kembali, semacam restorasi pesantren. Yang seperti ini pun masih ada,” ujarnya.
Semua kategori ini kini menjadi sasaran pendataan agar pondok pesantren di Wonosobo tidak lagi berjalan di luar peta kebijakan resmi.