Wonosobo, satumenitnews.com – Pemerintah Kabupaten Wonosobo mulai serius membidik potensi pajak tambang Galian C sebagai salah satu cara menambal turunnya dana transfer pusat dan memperkuat pendapatan asli daerah. Dari hitungan awal Badan Pengelolaan Pendapatan, Keuangan, dan Aset Daerah (BPPKAD), sektor mineral bukan logam dan batuan diperkirakan mampu menyumbang sekitar Rp 6 miliar per tahun ke kas daerah jika pendataan dan penertiban benar-benar dijalankan.
Kepala BPPKAD Wonosobo, Triantoro, menjelaskan potensi pajak tambang sekitar Rp 6 miliar per tahun dihitung dari simulasi gabungan antara estimasi volume produksi harian, jumlah pengusaha aktif, serta asumsi porsi 20–25 persen nilai transaksi yang bisa dikenai pajak daerah. “Angka itu masih proyeksi kasar yang akan dikunci setelah pendataan lapangan selesai dan data tiap pengusaha terkonsolidasi,” ujarnya, Senin (1/12/2025) .
Triantoro menegaskan pemerintah daerah tidak akan mengandalkan tafsir angka di meja rapat, melainkan data riil yang diverifikasi langsung di lokasi usaha tambang. Ia mencontohkan, “Kalau di lapangan produksi hanya lima meter kubik, petugas tidak boleh memaksa mencatat sepuluh, dan sebaliknya ketika volume nyata lebih besar dari yang dilaporkan, datanya harus tetap sesuai fakta.”
APBD 2026 tertekan, PAD dituntut naik
Ruang fiskal Wonosobo menyempit akibat penurunan dana transfer dari pusat dan provinsi yang disebut mencapai puluhan miliar rupiah untuk tahun anggaran 2026. Proyeksi pendapatan daerah 2026 tercatat turun dibanding tahun sebelumnya, sementara sekitar 80 persen APBD Wonosobo masih bergantung pada dana transfer, bukan pendapatan asli daerah.
Dalam situasi tersebut, setiap sumber PAD, termasuk pajak mineral bukan logam dan batuan, mulai dipandang sebagai ruang yang tidak bisa lagi diabaikan. Selama ini, kontribusi pajak dari sektor ini di dokumen anggaran relatif kecil, hanya di kisaran ratusan juta rupiah, sehingga loncatan menuju potensi Rp6 miliar akan menjadi perubahan signifikan jika benar-benar terealisasi pada 2026.
Pendataan tambang Galian C digencarkan
Beberapa bulan terakhir, Pemkab Wonosobo bersama BPPKAD dan sejumlah perangkat daerah turun langsung mendata tambang Galian C, salah satunya di wilayah Kecamatan Kertek yang dikenal sebagai kantong aktivitas penambangan pasir dan batu. Dalam inspeksi tersebut, pemerintah menemukan sedikitnya 14 usaha tambang yang beroperasi, sebagian belum berizin lengkap dan sebagian lain berhadapan dengan persoalan tata ruang serta dampak lingkungan.
Pendataan ulang dilakukan tidak hanya untuk mengetahui siapa pelaku usaha, tetapi juga memetakan skala produksi, skema kerja sama, hingga pola pembayaran kewajiban pajak yang selama ini berjalan. Pemerintah menyatakan, usaha yang berada di zona sesuai rencana tata ruang akan direkomendasikan mengurus persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR), sementara aktivitas di luar kawasan yang diizinkan akan dihentikan.
Antara mengejar rupiah dan menjaga lingkungan
Meski menyadari angka potensi pajak tambang yang menggiurkan, Pemkab Wonosobo menegaskan kebijakan di sektor ini tidak semata digerakkan oleh kebutuhan pendapatan asli daerah. Kerusakan lingkungan di sekitar titik-titik tambang, seperti erosi tebing, rusaknya badan jalan, serta kekhawatiran warga terhadap kualitas air dan lahan pertanian, membuat pemetaan risiko ekologis dan sosial harus berjalan beriringan dengan target fiskal.
Triantoro menekankan pemerintah daerah tidak akan gegabah mengeksekusi pemungutan pajak jika aspek lingkungan dan sosial belum benar-benar dipertimbangkan. Ia menilai, pendapatan yang masuk ke kas daerah tidak boleh dibayar dengan konflik di lapangan atau kerusakan kawasan yang pada akhirnya justru menambah beban anggaran untuk penanganan bencana dan pemulihan infrastruktur.
Data riil di lapangan jadi penentu
Dalam proses pendataan, BPPKAD menargetkan konsolidasi data awal dapat diperoleh dalam hitungan hari setelah rangkaian inspeksi dan kunjungan lapangan tuntas. Data tersebut meliputi identitas pelaku usaha, legalitas perizinan, titik koordinat lokasi, jenis komoditas, hingga volume produksi harian yang akan menjadi dasar penghitungan kewajiban pajak mineral bukan logam dan batuan.
Triantoro menyampaikan bahwa proyeksi kontribusi pajak tambang ke pendapatan 2026 dan skema lanjutan pada 2027 baru bisa dihitung lebih presisi setelah seluruh data terkumpul dan diverifikasi silang. Ia juga mengisyaratkan pentingnya sistem pengawasan berkelanjutan agar angka pajak yang dibayar tidak berhenti pada estimasi di awal tahun, tetapi benar-benar mengikuti dinamika produksi di lapangan sepanjang tahun berjalan.
Ketegasan penertiban tambang ilegal
Sebelum fokus pada optimalisasi pajak, Pemkab Wonosobo lebih dulu menyampaikan sikap tegas terhadap aktivitas tambang Galian C ilegal yang tidak mengantongi izin resmi. [7][10] Sekretaris Daerah One Andang Wardoyo menegaskan, “Pemerintah Kabupaten Wonosobo sedang berupaya menertibkan usaha pertambangan yang ada, khususnya yang mengabaikan proses perizinan dan rekomendasi tata ruang.”
Langkah penertiban dilakukan melalui undangan pendataan, pertemuan dengan pelaku usaha menjelang hari besar keagamaan, hingga inspeksi mendadak ke lokasi yang selama ini diduga bermasalah. Pemerintah berharap, setelah fase penataan dan penertiban dijalankan, hanya pelaku usaha yang tertib izin dan patuh pajak yang tetap beroperasi dan menjadi bagian dari upaya memperkuat pendapatan asli daerah.
Ruang fiskal dan ekspektasi publik
Masyarakat berharap pendapatan tambahan dari sektor tambang tidak sekadar menutup lubang anggaran, tetapi juga kembali ke warga dalam bentuk perbaikan jalan, penanganan kerusakan lingkungan, serta penguatan pelayanan dasar yang selama ini terdampak keterbatasan APBD. Dengan proyeksi penurunan belanja dan kebutuhan efisiensi di banyak sektor, setiap rupiah dari pendapatan asli daerah diharapkan bisa diarahkan ke program yang langsung dirasakan warga.
Bagi Pemkab, penguatan PAD dari pajak tambang juga menjadi ujian transparansi dan akuntabilitas, karena publik dapat membandingkan antara nilai kerusakan yang tampak di lapangan dengan angka penerimaan yang tercatat di dokumen keuangan daerah. Keterbukaan informasi mengenai jumlah usaha tambang yang tertib izin, volume produksi yang tercatat, dan besaran pajak yang benar-benar disetor akan menentukan seberapa jauh kebijakan ini mendapat legitimasi sosial.