Wonosobo, satumenitnews.com – Pondok pesantren di Wonosobo kini menghadapi dua arus besar: menjaga tradisi salafiyah yang kental dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital. Meski disebut “modern”, pesantren di kabupaten berhawa sejuk ini sejatinya masih menanamkan nilai-nilai tradisional yang kuat.
Menurut Kasi Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) Wonosobo, Dr. Muhammad Fakih Khusni, karakter pesantren di Wonosobo tetap salafiyah. “Disebut modern mungkin karena santri-santrinya sekarang sudah mulai canggih, tetapi karakter pesantrennya tetap tradisional,” jelas Fakih, Senin (8/12/2025).
Pesantren dan Masyarakat yang Menyatu
Fakih menegaskan, pesantren di Wonosobo tidak bisa dilepaskan dari lingkungan masyarakat. Hampir semua pesantren tumbuh dan dikenal berdasarkan wilayahnya. “Misalnya Pondok Pesantren Kali Beber lebih dikenal daripada nama resminya Al-Ash’ariyah. Begitu juga Pondok Si Gedong di Baturono lebih dikenal dengan sebutan Nurul Falah,” ujarnya.
Keterikatan ini menjadi fondasi sosial pesantren. Fakih menilai, hubungan tersebut melahirkan tanggung jawab moral bagi pesantren untuk berkontribusi pada kesejahteraan warga sekitar. “Pesantren harus mampu memberikan kontribusi kesejahteraan kepada masyarakat. Karena itu orang lebih mengenal pesantren dari nama kampungnya,” ujarnya.
Produk dan aktivitas pesantren juga banyak dimanfaatkan oleh warga sekitar, seperti hasil pertanian, usaha kecil, hingga kegiatan sosial. Menurut Fakih, hal ini menunjukkan adanya pola interaksi kuat yang sudah terbentuk sejak lama.
Tradisionalitas dan Transformasi Digital
Meski masih tradisional, pesantren di Wonosobo mulai bertransformasi menuju era digital. Fakih menyebut, proses digitalisasi pesantren merupakan keniscayaan yang tak bisa dihindari lagi.
“Ke depan, kita tidak ingin mempertentangkan antara tradisionalitas pesantren dengan perkembangan teknologi. Justru kita ingin menyatukan,” tegasnya. Kemenag Wonosobo, lanjutnya, terus mendorong agar pesantren memiliki kemampuan dalam mengelola sistem digital dan memperkuat dokumentasi keilmuan secara daring.
Kini, banyak santri mampu mengakses kitab atau referensi keislaman dari berbagai sumber online. Kitab-kitab klasik tetap diajarkan, tetapi dikombinasikan dengan literatur baru yang relevan dengan zaman. “Santri-santri sekarang bisa belajar dari kitab yang dulu mungkin belum pernah diajarkan di pesantren setempat,” kata Fakih.
Santri Cerdas dan Adaptif
Isu tentang “kegagapan pesantren terhadap zaman” disebut Fakih tidak relevan dengan kondisi saat ini. Menurutnya, santri masa kini memiliki pendidikan formal yang baik, baik di madrasah maupun sekolah, sehingga mudah beradaptasi. “Santri-santri sekarang cerdas dan rata-rata sudah mendapatkan pendidikan formal. Jadi kemungkinan munculnya kegagapan itu kecil sekali,” ujarnya.
Bahkan, banyak pondok pesantren memiliki tenaga admin yang menguasai teknologi informasi. Mereka mengelola media sosial, publikasi kegiatan, sampai pengarsipan data digital. “Kita tinggal menambah kemampuan mereka agar pesantren bisa selangkah lebih maju, lebih sistemik, dan lebih modern,” tutur Fakih.
Dengan kolaborasi antara tradisi dan inovasi, pondok pesantren di Wonosobo kini berperan ganda: menjaga warisan keislaman sekaligus menjadi bagian dari transformasi sosial dan digital masyarakat.