Wonosobo, Satumenitnews.com – Angka stunting di Kabupaten Wonosobo sampai akhir 2024 masih berada di angka 16,32%, lebih tinggi dari target nasional 14,5%. Namun, Dinas Kesehatan Kabupaten Wonosobo menegaskan bahwa mereka terus melakukan berbagai upaya untuk menekan angka tersebut.
Jaelan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Wonosobo, menyatakan bahwa pihaknya tidak tinggal diam dan terus memperkuat intervensi gizi, edukasi, serta pemantauan kesehatan ibu dan anak.
“Kami sadar bahwa stunting bukan hanya masalah gizi, tapi juga melibatkan faktor ekonomi, pola asuh, hingga sanitasi. Oleh karena itu, pendekatan kami harus holistik,” ujar Jaelan saat dihubungi lewat saluran WhatsApp, Sabtu (15/02/2024).
Angka Stunting Masih Tinggi di Beberapa Kecamatan
Dari 48.449 balita yang diukur, sebanyak 7.906 mengalami stunting. Beberapa kecamatan dengan angka stunting tertinggi antara lain:
- Kejajar II: 37,78%
- Kejajar I: 33,27%
- Kertek II: 30,59%
- Watumalang: 23,97%
- Kalibawang: 22,16%
Jaelan menjelaskan bahwa tingginya angka stunting di daerah-daerah ini disebabkan oleh faktor kompleks, termasuk keterbatasan ekonomi dan kebiasaan makan yang kurang beragam.
“Di beberapa wilayah, kami melihat pola makan anak masih didominasi karbohidrat tanpa protein dan zat gizi lain yang mencukupi,” kata Jaelan. “Ini yang menjadi fokus intervensi kami.”
Intervensi Pemerintah: Dari PMT hingga Pendampingan Keluarga
Untuk menekan angka stunting, Dinas Kesehatan Kabupaten Wonosobo telah menjalankan berbagai program, di antaranya:
- Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita gizi buruk dan ibu hamil KEK.
- Edukasi dan penyuluhan kepada ibu hamil serta orang tua tentang pentingnya gizi seimbang.
- Pendampingan keluarga rawan stunting dengan melibatkan kader posyandu dan tenaga kesehatan.
- Distribusi tablet tambah darah (TTD) bagi remaja putri untuk mencegah anemia yang berdampak pada generasi mendatang.
- Penguatan layanan posyandu dan puskesmas untuk memastikan semua balita mendapatkan pemantauan pertumbuhan secara berkala.
Jaelan menegaskan bahwa kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk tokoh masyarakat dan dunia usaha, juga diperlukan untuk mempercepat penurunan angka stunting.
“Kami tidak bisa bekerja sendiri. Kesadaran keluarga sangat penting. Kami berharap ada keterlibatan lebih banyak dari berbagai elemen masyarakat,” tambahnya.
MPASI Beragam Masih Rendah, Jadi PR Besar
Selain stunting, konsumsi MPASI beragam di Wonosobo masih sangat rendah, hanya 5,73%. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak orang tua yang belum memberikan makanan pendamping ASI dengan variasi gizi yang cukup.
“MPASI yang tidak beragam ini menjadi penyebab utama anak tidak mendapatkan zat gizi mikro yang cukup. Kami akan meningkatkan edukasi kepada ibu-ibu agar mereka memahami pentingnya memberikan makanan yang kaya protein dan vitamin,” ungkap Jaelan.
Beberapa daerah dengan konsumsi MPASI beragam yang sangat rendah antara lain:
- Kepil 1: 0%
- Kepil 2: 0%
- Sapuran: 0%
- Kalibawang: 0%
- Leksono 1: 1,21%
Menurut Jaelan, pihaknya akan bekerja sama dengan tim PKK dan komunitas lokal untuk memperkenalkan resep MPASI murah, sehat, dan bergizi.
Kasus Stunting yang Dirujuk ke Rumah Sakit
Dalam laporan ini, tercatat sebanyak 354 balita stunting mendapatkan rujukan ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
“Kami memastikan bahwa semua balita dengan kondisi stunting berat mendapatkan perawatan intensif. Penanganan ini meliputi pemberian terapi gizi, suplemen, dan pemantauan kesehatan berkala,” ujar Jaelan.
Selain itu, persentase balita gizi buruk yang mendapatkan perawatan di fasilitas kesehatan mencapai 100%, menunjukkan bahwa layanan kesehatan di Wonosobo cukup responsif terhadap masalah gizi.
Gizi Buruk Bukan Hanya Masalah Masyarakat Miskin
Meski banyak yang mengaitkan stunting dengan kemiskinan, Jaelan menekankan bahwa stunting juga terjadi di keluarga dengan ekonomi menengah, tetapi memiliki pola makan yang kurang seimbang.
“Ada orang tua yang mampu secara finansial, tetapi memilih makanan cepat saji atau kurang memperhatikan asupan gizi anak. Ini juga menjadi tantangan bagi kami dalam edukasi gizi,” jelasnya.
Di sisi lain, bagi keluarga yang memang mengalami keterbatasan ekonomi, Dinas Kesehatan terus berkoordinasi dengan dinas sosial untuk memastikan bantuan pangan bergizi dapat tersalurkan dengan baik.
Kesadaran Keluarga dan Komunitas, Kunci Penurunan Stunting
Jaelan menegaskan bahwa penurunan stunting bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga membutuhkan peran aktif dari masyarakat. Edukasi gizi sejak dini harus diperkuat, mulai dari sekolah hingga lingkungan rumah tangga.
Ia juga berharap keterlibatan sektor swasta dalam mendukung program gizi, seperti melalui CSR yang mendukung pemberian makanan sehat bagi anak-anak kurang mampu.
“Jika masyarakat sadar dan mau bekerja sama, maka kita bisa menurunkan angka stunting lebih cepat. Jangan sampai anak-anak kita kehilangan potensi hanya karena kurang gizi,“ tutup Jaelan.