Home » Simulasi Pengelolaan Sampah di Desa Jogoyitnan, Kabupaten Wonosobo

Simulasi Pengelolaan Sampah di Desa Jogoyitnan, Kabupaten Wonosobo

by Manjie
Listen to this article

Wonosobo, Satumenitnews.com – Desa Jogoyitnan menjadi contoh dalam penerapan sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas. Di tengah pro-kontra kenaikan retribusi sampah, desa ini menerapkan simulasi pengelolaan sampah dengan skema tarif yang disesuaikan dengan kondisi warga.

Dalam konferensi pers pada 30 Januari 2025, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Wonosobo, Endang Lisdyaningsih, S.Hut., menyatakan bahwa Desa Jogoyitnan telah melakukan simulasi pengelolaan sampah dan penerapan tarifnya sebagai model bagi desa lain.

“Kami mengapresiasi langkah Desa Jogoyitnan dalam menerapkan sistem berbasis komunitas. Ini bisa menjadi inspirasi bagi desa-desa lain dalam menentukan retribusi sampah yang lebih adil dan transparan,” ujar Endang.

Hasil simulasi ini menunjukkan bagaimana desa dapat mengurangi ketergantungan pada TPA Wonorejo dengan mengelola sampah secara mandiri.

Simulasi dan Perhitungan Biaya Pengelolaan Sampah

Simulasi pengelolaan sampah di Desa Jogoyitnan didasarkan pada jumlah produksi sampah harian, biaya operasional, serta skema tarif yang diterapkan kepada warga.

1️⃣ Pemetaan Produksi Sampah

  • Setiap rumah tangga menghasilkan sekitar 2 kg sampah per hari.
  • Dengan 1.000 rumah tangga, total sampah desa mencapai 2 ton per hari.

2️⃣ Perhitungan Biaya Operasional

  • Retribusi ke TPA Wonorejo: Rp110 per kg × 2.000 kg = Rp220.000 per hari.
  • Biaya pengangkutan sampah (BBM, tenaga kerja, perawatan kendaraan) = Rp300.000 per hari.
  • Total biaya operasional harian: Rp520.000 atau Rp15,6 juta per bulan.
Baca juga :  Penutupan TMMD Sengkuyung Tahap III di Desa Tempurejo

3️⃣ Penerapan Tarif Berbasis Komunitas

  • Iuran per rumah tangga ditetapkan sebesar Rp8.000 per bulan.
  • Dengan 1.000 KK, dana yang terkumpul mencapai Rp8 juta per bulan.
  • Kekurangan biaya ditutup dari dana desa dan subsidi.

Menurut kepala desa Jogoyitnan, skema ini dirancang untuk mencegah beban berlebih pada warga, sekaligus memastikan sistem pengelolaan sampah tetap berjalan efektif.

“Kami ingin tarif tetap terjangkau dan transparan. Masyarakat harus tahu bagaimana uang retribusi mereka digunakan,” ujarnya.

Skema Pengangkutan dan Pemilahan Sampah

Selain penerapan tarif yang lebih fleksibel, Desa Jogoyitnan juga menerapkan sistem pengangkutan dan pemilahan sampah untuk mengurangi volume yang dibuang ke TPA Wonorejo.

🔹 Pengumpulan Sampah Rumah Tangga

  • Warga membuang sampah ke TPS (Tempat Penampungan Sementara) desa.
  • Petugas desa mengangkut sampah setiap dua hari sekali ke TPS utama.

🔹 Pemilahan Sampah

  • Sampah organik diproses menjadi pupuk kompos.
  • Sampah anorganik dipilah dan dijual ke bank sampah desa.
  • Sampah residu dikirim ke TPA Wonorejo menggunakan kendaraan desa.
Baca juga :  Irjen Pol Ahmad Luthfi Sholawatan di Wonosobo

Dengan sistem ini, sekitar 40% sampah dapat dikelola di desa tanpa harus dikirim ke TPA.

“Kami tidak hanya membuang sampah, tapi juga mengolahnya. Ini lebih hemat dan lebih baik untuk lingkungan,” ujar seorang pengelola bank sampah Jogoyitnan.

Variasi Tarif di Berbagai Wilayah: Apakah Adil?

Hasil survei tim Satumenitnews menunjukkan bahwa iuran sampah yang ditetapkan di berbagai desa sangat beragam:

  • Desa Jogoyitnan: Rp8.000 per bulan per KK.
  • Desa lain di Wonosobo: rata-rata Rp 5.000 – Rp15.000 per bulan per KK.
  • Beberapa pengelola sampah desa menarik iuran hingga Rp50.000 per bulan untuk biaya kebersihan.

Menurut pegiat lingkungan, perbedaan tarif ini menunjukkan bahwa belum ada standar yang seragam dalam retribusi sampah antar desa.

“Tarif yang berbeda-beda ini menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih fleksibel. Tidak semua desa bisa menerapkan sistem yang sama, tergantung kapasitas pengelolaan mereka,” ujar seorang aktivis lingkungan dari Wonosobo.

Dampak Positif Simulasi Desa Jogoyitnan

Simulasi ini membuktikan bahwa dengan manajemen sampah berbasis komunitas, retribusi bisa lebih transparan dan diterima warga.

Tarif lebih terjangkau → Dibandingkan dengan sistem retribusi kota, model desa lebih fleksibel.
Dana dikelola langsung oleh desa → Warga mengetahui bagaimana uang mereka digunakan.
Mengurangi ketergantungan pada TPA Wonorejo → Sampah yang dikelola desa lebih sedikit yang dibuang ke TPA.

Baca juga :  Forkopimda Tinjau Lokasi TMMD Sengkuyung Tahap IV Kodim 0707/Wonosobo

Menurut DLH Wonosobo, model Desa Jogoyitnan bisa menjadi inspirasi bagi desa lain dalam menentukan retribusi sampah yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami ingin desa-desa lain meniru sistem ini. Tidak semua sampah harus dibuang ke TPA, ada banyak cara untuk mengelolanya dengan lebih efisien,” kata Endang.

Tantangan Penerapan Model Jogoyitnan di Seluruh Wonosobo

Meskipun berhasil di Jogoyitnan, penerapan sistem ini di desa lain masih menghadapi tantangan:

  • Kurangnya tenaga kerja untuk pengelolaan sampah desa.
  • Tidak semua desa memiliki bank sampah atau fasilitas pemilahan.
  • Kesadaran masyarakat dalam memilah sampah masih perlu ditingkatkan.

Namun, dengan adanya contoh dari Desa Jogoyitnan, desa lain kini memiliki referensi dalam menentukan skema retribusi sampah yang lebih transparan, efisien, dan berkelanjutan.

Bagi pemerintah daerah, simulasi ini membuktikan bahwa kebijakan retribusi sampah tidak harus seragam, tetapi bisa disesuaikan dengan kondisi tiap desa.

Dengan sistem berbasis komunitas, desa bisa mandiri dalam mengelola sampah, biaya lebih terkontrol, dan lingkungan tetap bersih.

You may also like

Leave a Comment