Wonosobo, satumenitnews.com – Kabupaten Wonosobo terus dibayangi eskalasi bencana, sementara perempuan berada di garis paling depan menanggung beban berlapis dalam situasi krisis. Di Kejajar, perempuan dari berbagai organisasi memilih merespons dengan cara berbeda: bermeditasi di tepi sumber mata air dan menanam 1.000 bibit kopi sebagai ikhtiar pencegahan bencana dari lingkup komunitas.
Bencana Meningkat, Perempuan di Garis Depan
BPBD Wonosobo mencatat hingga Juni 2025 telah terjadi 124 peristiwa bencana di Kabupaten Wonosobo, mulai dari longsor, tanah bergerak, banjir, angin puting beliung hingga kebakaran yang menyasar permukiman warga. Data ini menunjukkan intensitas ancaman bencana hidrometeorologi yang terus meningkat di kawasan pegunungan dengan kondisi lahan yang kian tertekan.
Dalam setiap kejadian, perempuan sering kali menjadi kelompok yang paling rentan karena harus menghadapi kehilangan ruang aman, terganggunya akses air bersih, dan terputusnya sumber penghidupan keluarga. Di tengah situasi darurat, perempuan menjadi tumpuan keluarga untuk memastikan keselamatan anak dan lansia, sekaligus menjaga keberlangsungan pangan dan pekerjaan domestik yang tiba-tiba berubah karena bencana.
Meditasi Ekologi di Kejajar, Dari Keresahan ke Gerakan
Menjawab eskalasi risiko tersebut, gabungan organisasi perempuan di Kecamatan Kejajar menggelar kegiatan meditasi ekologi yang dilanjutkan dengan penanaman 1.000 bibit kopi di sekitar sumber mata air Banyuwangi. Kegiatan ini melibatkan TP PKK Kejajar, Fatayat, Muslimat, Aisyiyah, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Wonosobo, serta Samitra Lingkungan yang selama ini aktif menguatkan komunitas di kawasan rawan bencana.
Meditasi dilakukan di tepi mata air sebagai ruang hening untuk menguatkan ketahanan mental dan kesadaran kolektif perempuan terhadap pentingnya merawat alam. Dalam sesi itu, perempuan diajak menyadari bahwa pencegahan bencana tidak hanya soal alat dan logistik, tetapi juga kesiapan batin, solidaritas sosial, dan keberanian mengambil peran kepemimpinan di tingkat komunitas.
Perempuan Memiliki Ketelatenan dalam Merawat Kehidupan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Wonosobo, Endang Lisdyaningsih, menyebut kegiatan meditasi ekologi dan penanaman kopi sebagai langkah nyata perempuan dalam menjaga sumber-sumber kehidupan.
“Perempuan memiliki ketelatenan dalam merawat kehidupan. Penanaman kopi ini merupakan aksi nyata sebagai gerakan bersama untuk menjaga mata air dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.
Endang menjelaskan, gerakan yang diawali dengan meditasi memiliki makna penting bagi pemulihan mental warga di wilayah rawan bencana.
“Meditasi ini menjadi ruang meneduhkan batin sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa merawat lingkungan dimulai dari kesadaran diri. Dari ketenangan batin, lahir tindakan nyata untuk menjaga kehidupan,” katanya.
Satu Pohon Kopi, Satu Doa Pencegahan Bencana
Direktur Samitra Lingkungan, Rumiyati, menegaskan bahwa satu tanaman yang ditanam hari ini memiliki arti besar bagi keberlangsungan bumi dan ikhtiar pencegahan bencana. “Satu pohon yang kita tanam hari ini adalah doa bagi masa depan,” ucapnya di hadapan para peserta meditasi ekologi di Kejajar.
Rumiyati menambahkan, akar-akar kopi yang tumbuh di sekitar sumber mata air akan membantu mengikat tanah dan menjaga kualitas debit air dalam jangka panjang. Ia menilai langkah kecil perempuan di satu desa dapat menjadi bagian dari gerakan lebih luas untuk mengurangi risiko bencana melalui pencegahan yang dimulai dari hulu.
Ruang Doa untuk Perempuan Terdampak Bencana
Dalam rangkaian meditasi ekologi dan penanaman 1.000 bibit kopi itu, para peserta juga secara khusus mendoakan seluruh perempuan yang terdampak bencana di berbagai wilayah Wonosobo. Mereka memohon agar perempuan yang kehilangan rumah, tanah, maupun penghidupan tetap mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.
Doa bersama tersebut menyinggung tiga hak utama yang perlu dipastikan negara dan pemerintah daerah, yakni hak atas perlindungan, hak atas pemulihan, dan hak atas kehidupan yang layak setelah bencana. Dengan cara itu, gerakan pencegahan bencana tidak hanya menyentuh aspek lingkungan, tetapi juga menegaskan bahwa keadilan sosial bagi perempuan harus menjadi bagian dari agenda penanggulangan bencana.
Pencegahan Bencana Berbasis Perempuan dan Mata Air
Kegiatan di sumber mata air Banyuwangi Kejajar memperlihatkan bahwa pencegahan bencana bisa tumbuh dari inisiatif akar rumput, dipimpin langsung oleh perempuan yang sehari-hari bersentuhan dengan air, pangan, dan ruang domestik. Dengan menanam kopi di sekitar mata air, mereka berupaya memperkuat tutupan vegetasi dan menjaga kestabilan tanah sebagai benteng alami terhadap longsor dan kekeringan.
Gerakan ini sekaligus menggeser cara pandang pencegahan bencana dari sekadar respons darurat ke pengurangan risiko yang terencana, terukur, dan berbasis komunitas. Jika model kolaborasi antara organisasi perempuan, pemerintah desa, dan dinas teknis ini diperluas ke wilayah lain, Wonosobo berpeluang membangun sistem pencegahan bencana yang lebih inklusif, sensitif gender, dan berkelanjutan.

