Wonosobo, satumenitnews.com – Miftah, pelapor dalam kasus pengeroyokan yang terjadi pada Februari 2024, akhirnya angkat bicara secara terbuka. Setelah sembilan bulan proses hukum berjalan tanpa kejelasan, Miftah menggelar konferensi pers untuk menyampaikan rasa frustrasinya terhadap lambannya penanganan kasus ini.
“Saya sudah berkali-kali mengajukan laporan dan meminta tindak lanjut, tapi sampai sekarang tidak ada perkembangan berarti. Proses ini terasa seperti jalan di tempat,” ujar Miftah dalam konferensi pers yang digelar dib Resto Harmoni, Rabu (11/12/2024).
Proses Hukum yang Mandeg Meski Laporan Diajukan Berulang Kali
Kasus pengeroyokan ini dilaporkan pertama kali pada 14 Februari 2024, dengan laporan resmi diterbitkan pada 21 Mei 2024. Namun hingga kini, status kasus belum mencapai tahap penyidikan.
Kuasa hukum Miftah, Wisnu Harto, SH, menyoroti lemahnya sistem penegakan hukum di tingkat lokal.
“Sudah sembilan bulan sejak laporan ini dibuat, tetapi belum ada Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Ini sangat tidak masuk akal untuk kasus yang sebenarnya tidak terlalu kompleks,” ungkap Wisnu.
“No Viral, No Justice”
Dalam konferensi pers tersebut, Wisnu memberikan pernyataan yang cukup menohok.
“Saat ini, hukum sering kali bergerak hanya jika kasusnya viral. Kalau tidak viral, seolah-olah tidak ada keadilan. No viral, no justice,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan bahwa pelapor dan keluarganya merasa terabaikan dalam sistem hukum.
“Kami sudah mencoba berbagai cara, termasuk mengirimkan permohonan tindak lanjut, tetapi responsnya sangat minim. Ini mencederai rasa keadilan bagi korban,” tambahnya.
Kegerahan Miftah dan Harapan untuk Kejelasan
Miftah mengaku gerah dengan proses hukum yang terkesan mandeg.
“Saya dan keluarga merasa seperti berjuang sendiri. Tidak ada kejelasan apa pun dari pihak kepolisian, meskipun kami sudah berkali-kali mencoba meminta kejelasan,” ujarnya.
Ia berharap, dengan adanya konferensi pers ini, perhatian publik dan media dapat mendorong percepatan penanganan kasus.
Sorotan pada Aparat Penegak Hukum
Wisnu juga menyayangkan kurangnya koordinasi antara pihak Polres dan kuasa hukum. Menurutnya, banyak proses pemeriksaan yang dilakukan tanpa melibatkan pihak kuasa hukum pelapor.
“Seharusnya, kami dilibatkan dalam setiap proses pemeriksaan, baik terhadap saksi maupun korban. Tapi selama ini, kami hanya diberi informasi seadanya,” katanya.
Wisnu juga menduga bahwa status terlapor, berinisial S, sebagai pejabat publik turut memengaruhi lambannya proses hukum.
“Hukum tidak boleh tunduk pada jabatan atau status seseorang. Semua harus setara di mata hukum,” tegasnya.
Minta Media dan Publik Mengawal Kasus
Miftah dan kuasa hukumnya mengimbau agar media dan masyarakat terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Mereka berharap, sorotan publik dapat memaksa aparat penegak hukum untuk bertindak lebih cepat dan adil.
“Kasus ini bukan hanya tentang saya, tetapi tentang keadilan yang seharusnya menjadi hak semua orang. Kami tidak ingin kasus ini berlalu begitu saja tanpa kejelasan,” pungkas Miftah.