satumenitnews.com — Fenomena Gen Z dan Tantangan Pramuka di Era Digital. Bagi banyak siswa masa kini, Pramuka masih identik dengan kegiatan yang dianggap “jadul”. Kegiatan seperti tali-temali, baris-berbaris, atau upacara bendera dirasa tidak lagi menarik bagi generasi yang tumbuh dengan teknologi di genggaman tangan.
Seorang pelajar SMA di Wonosobo mengatakan dirinya lebih tertarik mengikuti komunitas digital dan relawan sosial ketimbang kegiatan yang dianggap kaku.
“Ngapain belajar simpul mati kalau dunia kerja nanti butuh kemampuan teamwork dan komunikasi digital,” ujarnya.
Perubahan zaman membuat minat terhadap Pramuka menurun. Aktivitas yang dulu dianggap membentuk karakter kini dinilai kurang menyesuaikan dunia modern yang serba cepat dan kontekstual.
💬 Metode Kegiatan Kurang Inovatif
Banyak gugus depan Pramuka di sekolah masih bertahan dengan pola lama: ceramah, perintah, dan aturan disiplin yang ketat. Model ini tidak menarik bagi Gen Z yang gemar bereksperimen dan menyukai pembelajaran berbasis pengalaman.
Generasi muda lebih akrab dengan kegiatan interaktif—mulai dari proyek sosial, kolaborasi komunitas, hingga digital challenge di media sosial. Ketika kegiatan Pramuka tidak memberi ruang untuk berekspresi, minat pun semakin surut.
📱 Kalah Bersaing dengan Dunia Digital
Gen Z hidup di dunia TikTok, YouTube, dan gim daring. Dunia maya menjadi sumber hiburan sekaligus ruang belajar dan pertemanan. Sayangnya, Pramuka jarang muncul di sana dengan cara yang menarik.
Akun media sosial kegiatan Pramuka umumnya kaku dan minim visual menarik. Dokumentasi kegiatannya jarang “aesthetic”, padahal citra visual menjadi hal penting bagi generasi muda. Akibatnya, Pramuka tersisih dibanding komunitas e-sport, konten kreatif, atau relawan lingkungan yang lebih aktif di dunia digital.
🎯 Nilai Pramuka Masih Relevan, tapi Salah Dikomunikasikan
Kedisiplinan, kemandirian, gotong royong, dan kepemimpinan adalah nilai yang masih relevan bagi Gen Z. Namun menurut sejumlah pengamat pendidikan, nilai-nilai itu sering tak tersampaikan dengan cara yang mengena.
Jika disusun ulang dengan pendekatan **storytelling**, pengalaman lapangan, atau program sosial nyata, kegiatan Pramuka dapat kembali menjadi media pembentukan karakter yang kuat. Pramuka sebenarnya punya potensi besar membangun rasa solidaritas dan kepemimpinan generasi digital—asal dikemas dengan cara baru.
🧠 Citra yang Terlalu Seragam dan Formal
Generasi Z dikenal sebagai kelompok yang menghargai orisinalitas dan ekspresi diri. Seragam cokelat lengkap dengan atribut resmi terkadang justru terasa mengikat bagi mereka.
“Anak-anak sekarang ingin menjadi diri sendiri. Mereka kurang nyaman bila semuanya harus seragam dan formal,” kata seorang pembina Pramuka SMP di Wonosobo.
Budaya yang terlalu kaku membuat sebagian remaja enggan bergabung. Mereka mencari ruang yang lebih fleksibel seperti komunitas kreatif atau kegiatan sosial berbasis hobi.
💡 Minimnya Figur Panutan Modern
Dulu Pramuka memiliki figur inspiratif yang dikenal nasional. Kini, sosok panutan semacam itu jarang terlihat, terutama di media sosial. Padahal Gen Z membutuhkan role model yang tak hanya aktif di alam, tapi juga paham dunia digital.
“Aku mau jadi seperti Kak itu — keren, aktif di alam, tapi juga update teknologi,” begitu harapan banyak remaja ketika ditanya figur ideal versi mereka.
Minimnya figur publik membuat Pramuka sulit terhubung dengan anak muda. Di era algoritma digital, kehadiran influencer atau duta Pramuka muda bisa menjadi jembatan untuk menghidupkan kembali semangat kepanduan di era modern.

