Kuliner Legend: Sagon Pak Slamet Bertahan di Lantai 4 Pasar Induk Wonosobo

Listen to this article

Wonosobo, satumenitnews.com — Sagon, kuliner legend dari Wonosobo, bukan sekadar kue pasar yang menemani kopi dan teh di udara dingin pegunungan. Di balik bentuknya yang sederhana, tersimpan kisah panjang sebuah keluarga penjual sagon yang bertahan lintas zaman di Pasar Induk Wonosobo.

Sagon, Kudapan Pasar yang Naik Kelas

Secara turun-temurun, sagon dikenal sebagai kudapan tradisional yang terbuat dari parutan kelapa dan tepung beras ketan dengan rasa gurih manis. Di Wonosobo, sagon dicetak bundar lalu dipanggang dengan arang di bagian atas dan bawah loyang sehingga menghasilkan tekstur keras di luar namun lembut saat digigit. Dahulu, sagon lebih sering hadir di hari-hari pasaran dan momen khusus, kini ia menjelma menjadi salah satu ikon kuliner legend yang diburu wisatawan sebagai oleh-oleh.

Di tengah derasnya jajanan modern, warga Wonosobo masih menjadikan sagon sebagai teman minum kopi atau teh di sore hari. Aroma kelapa panggang dan gula yang sedikit karam membuat kudapan ini tetap relevan di tengah perubahan selera. Bagi banyak orang, satu potong sagon sering kali bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal nostalgia dan ingatan akan pasar tradisional yang hiruk-pikuk.

Jejak Mbah Karso Utomo di Pasar Lama

Salah satu nama yang lekat dengan sagon Wonosobo adalah keluarga Mbah Karso Utomo, ibu dari Pak Slamet. Menurut penuturan Pak Slamet, ibunya mulai berjualan sagon sekitar tahun 1950, ketika pasar lama Wonosobo masih sangat ramai. Lapak keluarga ini sudah sejak awal menjajakan kudapan yang mereka sebut sagon, meski ada sebagian orang yang menamainya rangin.

Mbah Karso tidak hanya dikenal sebagai penjual, tetapi juga sebagai sosok yang menurunkan tradisi kerja keras kepada anak-anaknya. Empat orang anaknya tumbuh besar di antara kepulan asap arang dan loyang panas. Dua di antaranya, Mbak Jum dan Mbak Tri, membantu usaha dengan cara berjualan sambil tetap sekolah. Dari pagi hingga pasar mulai sepi, keluarga ini menggantungkan hidup dari tumpukan sagon hangat di atas meja kayu.

1979: Saat Pak Slamet Turun ke Lapak

Pak Slamet mengaku mulai turun langsung berjualan sekitar tahun 1979 (sebelumnya ia membantu berjualan sejak kecil). Masa itu ia ingat sebagai periode ketika Wonosobo masih mengandalkan pasar sebagai pusat segala aktivitas ekonomi. Ia juga menjadi saksi bagaimana Pasar Induk Wonosobo berkali-kali dilalap api, bahkan ia menyebut sudah mengalami kebakaran pasar hingga empat kali, termasuk kebakaran besar di kawasan alun-alun.

Di tengah situasi yang tidak menentu itu, usaha sagon keluarganya tetap berusaha bertahan. Setiap kali pasar pindah atau direnovasi, lapak sagon ikut menyesuaikan. Dari pasar lama, ke pasar induk, hingga akhirnya saat ini menempati lantai empat Pasar Induk Wonosobo. Bagi Pak Slamet, bertahan di pasar bukan hanya soal dagangan, tetapi juga soal menjaga tradisi keluarga.

Naik Turun Harga, Naik Turun Zaman

Perjalanan sagon keluarga ini juga bisa dibaca lewat angka. Pak Slamet masih mengingat betul bagaimana ibunya dulu menjual sagon seharga Rp 7,5 per buah, yang ketika itu disebut tiga ringgit. Nilai itu tentu tampak kecil jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, tetapi pada masa itu sudah punya arti sendiri bagi pembeli pasar tradisional.

Pada tahun 1950, harga beras berkisar antara Rp1,12 hingga Rp1,30 per kilogram untuk beras giling, dan kurang dari Rp 1 per kilogram untuk beras tumbuk. Harga ini mulai naik pada tahun 1951 akibat faktor seperti musim kemarau yang panjang dan kerusakan tanaman padi (data dari berbagai sumber).

Saat ia mulai aktif berjualan sendiri pada 1979, harga sagon sudah menyentuh Rp 500 per buah. Pada masa yang sama, harga beras ia sebut masih sekitar Rp 75 per kilogram. Perbandingan ini menggambarkan bahwa sagon tetap berusaha dijual di harga yang terjangkau bagi masyarakat, meski margin keuntungannya tidak selalu besar.

Kini, puluhan tahun berselang, satu potong sagon di lapak Pak Slamet dijual sekitar Rp6.000. Kenaikan ini bukan semata-mata keinginan pedagang, tetapi konsekuensi dari melonjaknya harga bahan baku. Menurut pengakuannya, harga beras dan bahan lain saat ini bisa mencapai tiga hingga lima kali lipat per kilogram dibanding harga jual sagon. Di titik ini, sagon tidak hanya menjadi cerita rasa, tapi juga cermin perubahan ekonomi dari waktu ke waktu.

Dari Rata-rata 10 Kilo Sehari ke 3 Kilo Saja

Perubahan zaman tak hanya mengubah harga, tetapi juga pola konsumsi. Pak Slamet bercerita, pada awal ia berjualan, sekitar 1979, keluarga bisa menghabiskan rata-rata 10 kilogram bahan baku sagon dalam sehari. Artinya, arang menyala sejak pagi, dan loyang jarang benar-benar dingin. Arus pembeli yang stabil membuat produksi terus berjalan.

Sekarang, ia menyebut rata-rata hanya 3 kg dan maksimal hanya sekitar 5 kilogram bahan baku per hari yang bisa ia olah. Turunnya volume produksi ini tidak lepas dari semakin banyaknya pilihan jajanan dan camilan modern, serta bergesernya kebiasaan berbelanja sebagian warga dari pasar tradisional ke platform lain. Meski begitu, permintaan tetap ada, terutama dari pelanggan lama dan para pemburu kuliner legend yang sengaja datang mencari sagon di Pasar Induk.

Bertahan di Lantai 4 Pasar Induk

Saat ini, lapak Sagon Pak Slamet berada di lantai 4 Pasar Induk Wonosobo. Lokasi di lantai atas pasar mungkin bukan tempat yang paling strategis jika dibanding deretan pertokoan di jalan utama, tetapi di situlah ia memilih bertahan. Di ruang yang tidak terlalu luas itu, arang, loyang, dan adonan sagon masih bekerja sama menghasilkan aroma yang khas.

Pak Slamet sempat mencoba membuka cabang di kawasan emperan Jalan Angkatan 45. Harapannya, dengan mendekat ke jalur lalu lintas utama, pembeli akan lebih banyak. Namun, kenyataannya berbeda: cabang itu kurang ramai dan akhirnya terpaksa tutup. Pengalaman itu menguatkan keputusannya untuk tetap mengandalkan lapak di Pasar Induk, tempat ia sudah dikenal pelanggan lama.

Hangat, Gurih, dan Penuh Cerita

Sagon buatan keluarga ini disajikan dalam keadaan panas, langsung dari loyang yang baru diangkat dari bara. Tekstur bagian luar yang renyah berpadu dengan bagian dalam yang masih agak lembut, membuatnya cocok dinikmati di udara sejuk Wonosobo. Rasa gurih dari kelapa dan tepung ketan, berpadu manisnya gula, menjadi kombinasi yang membuat banyak orang rindu untuk kembali membeli.

Di Wonosobo, sagon bukan hanya hadir sebagai camilan harian. Kue ini juga sering muncul di hari raya, acara keluarga, hingga pameran kuliner tradisional. Ada yang membawanya sebagai oleh-oleh untuk kerabat di luar kota, ada pula yang sengaja mampir ke pasar hanya untuk membeli dua atau tiga potong sagon hangat sebelum pulang.

Warisan Kuliner Legend yang Menunggu Penerus

Kini, usaha sagon keluarga Mbah Karso Utomo berada di tangan Pak Slamet, meski ia sendiri mulai memikirkan soal regenerasi. Ia mengakui, belum ada generasi penerus yang benar-benar mengambil alih penuh. Putra putrinya memang sesekali membantu di lapak, tetapi belum sepenuhnya turun sebagai pedagang utama.

Di tengah situasi itu, sagon yang lahir dari bara arang di lantai 4 Pasar Induk Wonosobo tetap menjadi saksi hidup perjalanan satu keluarga. Selama arang masih dinyalakan dan loyang masih diisi adonan, kuliner legend ini terus menjaga ingatan kolektif warga Wonosobo tentang pasar lama, ringgit, dan masa ketika 10 kilo bahan sagon bisa habis dalam sehari.

Related posts

Jejak Kuliner Legend: Perjalanan Bubur Kacang Ijo Prapatan Pak Selamet di Wonosobo

Melacak Jejak Kuliner Wonosobo: 22 Rekomendasi dengan Panduan Google Maps

Kedai Pinggir Kali, Tempat Kuliner Wonosobo yang Lebih dari Sekadar Kedai Makan Biasa?

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Read More