Wonosobo, satumenitnews.com – Meski berbagai daerah di Indonesia mengalami dinamika jumlah santri pasca pandemi COVID-19, kondisi tersebut tampaknya tak begitu terasa di Wonosobo. Kabupaten yang dikenal sebagai “kota santri” ini justru menunjukkan geliat baru dalam dunia pendidikan pesantren.
Menurut Kasi Pondok Pesantren Kemenag Wonosobo, Dr. Muhammad Fakih Khusni, S.Ag., M.Si., M.M., karakter utama pesantren di Wonosobo masih kuat memegang tradisi, namun tetap terbuka terhadap masyarakat dan perubahan, Senin (8/12/2025).
Kiai dan Masyarakat tanpa Batas
Fakih menjelaskan, hubungan antara kiai dan masyarakat di Wonosobo berjalan secara alami tanpa sekat sosial. Narasi bahwa pengasuh pesantren kurang membaur, menurutnya, tidak bisa digeneralisasi.
“Kalau pun ada, itu lebih kepada sikap personal masing-masing tokoh, bukan gambaran umum pesantren. Secara umum tidak ada pembatas antara kiai dan masyarakat,” ujarnya.
Ia menambahkan, posisi kiai dalam tradisi pesantren bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga teladan bagi masyarakat sekitar. “Dunia pesantren tidak mengenal jarak seperti itu. Justru istimewanya seorang kiai adalah menjadi contoh, tidak hanya bagi santrinya tapi juga bagi warga di sekelilingnya,” lanjut Fakih.
Pesantren Bertambah, Santri Ikut Naik
Meski sempat muncul anggapan bahwa jumlah santri menurun pasca pandemi sementara jumlah pesantren bertambah, Fakih menyebut situasi berbeda terjadi di Wonosobo. Berdasarkan pengamatan Kemenag, tren santri di berbagai pondok justru terus meningkat.
“Contohnya di Pondok Almubarok, setiap tahun jumlah santrinya bertambah hingga kekurangan ruang belajar. Bahkan penerimaan santri baru harus dibatasi karena fasilitas belum mencukupi,” terang Fakih.
Menurutnya, hampir semua pesantren di Wonosobo masih aktif dengan kegiatan kepesantrenan yang rutin. “Hampir tidak ada pesantren yang tidak aktif. Semua tetap berjalan, artinya tidak ada persoalan serius,” tegasnya.
Arah Baru Penguatan Pesantren
Melihat perkembangan ini, Fakih optimistis masa depan pesantren di Wonosobo akan semakin cerah, terutama dengan rencana pembentukan **Direktorat Jenderal (Dirjen) Pesantren** di Kementerian Agama.
“Hadirnya negara melalui lembaga yang lebih kuat akan menjadi angin segar bagi pengembangan pesantren. Jika sudah ada Dirjen Pesantren dengan pejabat eselon I, maka power dan anggarannya tentu lebih besar,” jelasnya.
Langkah ini, kata Fakih, akan membuat pesantren memiliki “rumah sendiri” dalam struktur kelembagaan pemerintah. Selama ini, pengelolaan pesantren masih berada di bawah beberapa direktorat sehingga kebijakan sering kali berlapis.
Fokus Revitalisasi Pendidikan Pesantren
Dalam kegiatan revitalisasi pondok pesantren yang digelar di Wonosobo, Kemenag menitikberatkan pada aspek pendidikan. Program ini diarahkan untuk memperkuat kurikulum pesantren, pola pengajaran kiai, sekaligus pembentukan karakter santri.
“Fokusnya bagaimana santri menguasai ilmu-ilmu turats dan kitab kuning, sekaligus memiliki akhlak yang baik. Pesantren tidak sekadar mencetak orang pintar, tapi juga pribadi yang beradab,” tutur Fakih menegaskan.
Menurutnya, penguatan nilai-nilai klasik tetap menjadi fondasi utama agar santri berwawasan luas tanpa kehilangan akar keislaman tradisional. “Kita ingin membentuk karakter santri yang berilmu, berakhlak, dan siap menghadapi perubahan zaman,” pungkasnya.