Kolaborasi Sunyi di Balik Angka, Puskesmas Kalikajar 2 dan Dua Lembaga yang Menjaga Anak Wonosobo

Listen to this article

Wonosobo, satumenitnews.com – Kepala Puskesmas Kalikajar 2, dr. Marina Dewi Satyawati, menyebut kerja sama dengan KITA Institute dan YAPPIKA menjadi salah satu tonggak penting dalam penguatan penanganan stunting di Wonosobo. Pertemuan informal yang berlangsung pada Selasa, 21 Oktober 2025 itu memperlihatkan bagaimana kolaborasi dua tahun terakhir membantu puskesmas menghadapi keterbatasan tenaga medis dan sumber daya manusia.

Kolaborasi Dua Arah dan Dampak Lapangan

Dalam sambutannya, dr. Marina mengatakan bahwa pendekatan pendampingan lapangan oleh dua lembaga tersebut terbukti signifikan. Menurutnya, tim KITA Institute dan YAPPIKA menerapkan strategi berbasis komunitas yang mendorong partisipasi warga agar lebih proaktif memantau gizi anak.

“Pendampingan intensif mereka menjadi faktor utama keberhasilan program di lapangan. Warga jadi lebih aktif datang ke posyandu dan mengikuti kelas gizi,” kata dr. Marina saat dihubungi satumenitnews.com, Rabu (4/11/2025).

Puskesmas Kalikajar 2 sendiri terus mengoptimalkan data pemantauan gizi melalui aplikasi EPPBGM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat). Data tersebut diinput oleh kader terlatih di setiap desa, dengan supervisi dari bidan dan ahli gizi.

Bidan Desa Jadi Garda Terdepan

Bidan desa mendapat perhatian khusus karena menjadi ujung tombak dalam memantau kesehatan anak sekolah, ibu hamil, remaja, hingga lansia di wilayah binaannya. Melalui posyandu rutin setiap bulan, mereka turut memastikan pelayanan kesehatan berjalan optimal.

dr. Marina menegaskan bahwa tanpa peran aktif bidan dan kader posyandu, puskesmas tidak akan mampu menjangkau masyarakat secara merata. “Mereka adalah tangan pertama kami. Informasi dan data kesehatan anak hampir semuanya bersumber dari mereka,” ujarnya.

Dukungan PMT dan Mekanisme Rujukan

Puskesmas Kalikajar 2 mengalokasikan anggaran Pemberian Makanan Tambahan (PMT) sebesar Rp16.500 per hari untuk balita, dan Rp21.500 untuk ibu hamil dengan kekurangan energi kronis (KEK).

Durasi penanganan ditentukan berdasarkan kondisi gizi: balita underweight mendapatkan PMT 28 hari, yang tidak naik berat badan selama dua bulan mendapat 14 hari, dan gizi kurang diberikan selama 56 hari. Program untuk ibu hamil KEK berjalan selama 120 hari.

Untuk kasus anak stunting dan ibu hamil risiko tinggi, puskesmas menerapkan mekanisme rujukan berjenjang. Walau sistem ini baru terpusat di puskesmas, koordinasi dengan rumah sakit dan bidan desa tetap dilakukan untuk memastikan penanganan lanjutan oleh dokter spesialis.

Strategi Pencegahan dan Tantangan Budaya

Upaya pencegahan tidak berhenti pada gizi. Puskesmas juga menjalankan program KB safari yang dananya berasal dari desa. Kegiatan ini mencakup konseling dan pemberian alat kontrasepsi untuk menjaga jarak kehamilan sebagai upaya menekan risiko stunting dan bayi berat lahir rendah (BBLR).

Namun, tantangan di lapangan masih muncul. Sebagian keluarga menolak imunisasi atau pendampingan karena alasan kepercayaan dan rasa malu. Ada pula yang enggan menerima status stunting pada anaknya.

“Kami masih menemui resistensi, terutama karena faktor keyakinan atau stigma negatif. Edukasi perlu terus dilakukan agar masyarakat memahami bahwa stunting bisa dicegah,” kata dr. Marina.

Kelas Ibu Hamil dan Peran Suami

Program Kelas Ibu Hamil Bersama Suami menjadi langkah baru untuk memperkuat edukasi keluarga. Hanya saja, kegiatan ini baru dapat dilaksanakan satu kali dalam setahun di beberapa desa karena keterbatasan anggaran dan waktu kerja suami.

Menurut Nia Tri Lestari dari tim YAPPIKA dan KITA Institute, antusiasme peserta tinggi. “Banyak ayah yang mulai memahami pentingnya peran mereka dalam mendukung kesehatan ibu dan bayi,” ujarnya.

Selain itu, tim juga memperluas pendampingan ibu hamil risiko tinggi melalui kader PIH (Peduli Ibu Hamil) dan Tim PSC Dinas Kesehatan Kabupaten Wonosobo.

Harapan untuk Perluasan Kolaborasi

dr. Marina berharap kolaborasi ini dapat berlanjut dan diperluas, terutama dalam memperkuat sistem rujukan di tingkat desa serta meningkatkan pelaksanaan kelas ibu hamil. Ia menilai edukasi masyarakat menjadi fondasi utama dalam membangun kesadaran bahwa kesehatan anak bukan hanya urusan fasilitas medis, tetapi juga kemauan bersama.

Kolaborasi lintas lembaga di Kalikajar ini mencerminkan bagaimana kerja senyap dari lapangan mampu menekan angka stunting di Wonosobo dan membuka jalan bagi generasi yang tumbuh lebih sehat.

Related posts

Wajah Baru Satlantas Temanggung, Duta Pelayanan Siap Sambut Masyarakat

Prediksi Cuaca Ekstrem: Longsor di Surengede Uji Kesiapsiagaan Warga Lereng

Evaluasi Kinerja Kementerian 2025, Arsip Jadi Cermin Masa Depan Pemerintahan Daerah

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Read More