KKMP: Koperasi Afirmatif yang Gagal Diapfirmasi Negara

Listen to this article

Negara kembali menghidupkan wacana lama tentang koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional. Melalui pembentukan Koperasi Kelurahan Merah Putih (KKMP), negara memproyeksikan diri sebagai aktor yang berpihak pada ekonomi rakyat berbasis komunitas. KKMP dirancang sebagai kebijakan afirmatif: sebuah intervensi sadar untuk memperbaiki ketimpangan struktural, membuka akses modal, dan memperkuat posisi tawar warga kelurahan dalam sistem ekonomi yang timpang.

Namun dalam praktik, afirmasi tersebut tidak bekerja sebagaimana mestinya. Negara hadir kuat dalam fase normatif pembentukan kelembagaan, sosialisasi, dan legitimasi politik tetapi melemah ketika koperasi berhadapan dengan risiko ekonomi yang konkret. Pengalaman di lapangan memperlihatkan bahwa KKMP dibentuk secara afirmatif, tetapi dijalankan dengan logika kebijakan yang netral-pasar, teknokratis, dan minim keberpihakan.

Tulisan ini merupakan refleksi kritis dari dalam, berangkat dari pengalaman Koperasi Kelurahan Merah Putih Demangan, Kemantren Gondokusuman, Kota Yogyakarta.

Kebijakan Afirmatif dan Tanggung Jawab Negara

Dalam teori kebijakan publik, kebijakan afirmatif dipahami sebagai kebijakan yang tidak memperlakukan semua aktor secara setara, melainkan secara adil. Keadilan berarti adanya perlakuan asimetris bagi kelompok sasaran yang secara struktural lemah. Negara, melalui kebijakan afirmatif, tidak hanya menetapkan aturan main, tetapi juga mengambil sebagian risiko yang tidak mampu ditanggung oleh kelompok sasaran.

Dengan kerangka ini, koperasi afirmatif seharusnya memperoleh setidaknya tiga hal: akses modal yang dipermudah, mekanisme penjaminan risiko, dan dukungan kelembagaan yang berkelanjutan. Tanpa ketiga elemen tersebut, kebijakan afirmatif akan berhenti sebagai simbol politik, bukan instrumen korektif.

Pengalaman KKMP Demangan menunjukkan bahwa afirmasi berhenti pada tahap pembentukan, tidak berlanjut pada dukungan struktural. Ketika koperasi dipercaya terlibat dalam produksi Batik Segoro Amarto Reborn, sesungguhnya seluruh prasyarat ekonomi telah terpenuhi: perhitungan harga pokok produksi jelas, pasar tersedia, dan rencana usaha dapat dipertanggungjawabkan secara bisnis.

Namun ketika koperasi membutuhkan modal produksi, baik bank Himbara maupun bank daerah tidak menyediakan skema pembiayaan yang relevan bagi koperasi afirmatif. Tidak ada perlakuan khusus, tidak ada mekanisme penjaminan risiko dari negara, dan tidak ada implementasi konkret mandat afirmatif dalam hubungan koperasi–perbankan. Akhirnya, beban modal dialihkan kepada mitra anggota, yakni perajin batik yang harus mencari pembiayaan secara individual, sementara KKMP tidak memiliki modal untuk membiayai produksi.

Alhasil, skema yang dijalankan bersifat pasca-bayar (*post paid*): koperasi membeli dari anggota dan menjual kembali sesuai ketentuan. Dalam kondisi ini, koperasi tidak lagi berfungsi sebagai alat kolektif akumulasi modal, melainkan sekadar perantara jual-beli. Secara formal, KKMP berlabel sebagai pemilik saham, tetapi secara faktual bekerja layaknya tengkulak kain. Di sinilah terlihat jelas kegagalan kebijakan afirmatif dalam menjalankan fungsi korektifnya.

Governance yang Tersendat: Dari Kolaborasi ke Pseudo-Partisipasi

Secara konseptual, pembentukan KKMP sering ditempatkan dalam kerangka governance: pengelolaan urusan publik melalui kolaborasi antara negara, masyarakat, dan aktor ekonomi. Dalam model ini, koperasi seharusnya menjadi subjek kebijakan yang memiliki ruang tawar, bukan sekadar objek pelaksanaan.

Namun praktik di lapangan menunjukkan dominasi logika governing alih-alih governance. Negara tetap menjadi pengendali utama, sementara koperasi berperan sebagai pelaksana yang harus menyesuaikan diri dengan standar lembaga besar. Relasi yang terbangun bersifat hierarkis, bukan kemitraan setara.

Hal ini tampak dalam relasi KKMP dengan lembaga keuangan dan badan usaha pemerintah. Ketika berhadapan dengan perbankan dan lembaga keuangan, koperasi diperlakukan sama dengan pelaku usaha komersial mapan: standar risiko, persyaratan agunan, dan mekanisme pembiayaan diseragamkan tanpa mempertimbangkan mandat afirmatif yang melekat pada KKMP.

Kondisi tersebut mencerminkan apa yang dalam teori kelembagaan disebut sebagai isomorfisme koersif: koperasi rakyat dipaksa meniru logika dan praktik institusi besar agar dianggap layak secara administratif. Akibatnya, karakter sosial koperasi tereduksi, dan tujuan pemberdayaan berubah menjadi sekadar kepatuhan prosedural.

Ketika BUMD Menunjukkan Wajah Afirmasi

Menariknya, pengalaman berbeda justru muncul ketika KKMP Demangan berhadapan dengan Badan Usaha Milik Daerah. Kerja sama dengan PDAM Tirtamarta Yogyakarta dalam distribusi Air Jogja dan oleh-oleh khas daerah menunjukkan bahwa kebijakan afirmatif dapat diterjemahkan secara praktis.

Melalui skema harga eceran tertinggi dan kelonggaran margin, koperasi memperoleh keuntungan meskipun terbatas dalam penjualan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) bermerek Air Jogja. Relasi ini dibangun sebagai kemitraan yang saling memahami posisi masing-masing pihak, di mana pemerintah daerah melalui BUMD bersedia berbagi ruang keuntungan dan secara implisit mengakui keterbatasan kapasitas koperasi.

Pengalaman ini menegaskan bahwa persoalan utama KKMP bukan terletak pada kapasitas lokal, melainkan pada desain kebijakan dan keberanian negara dalam membangun skema afirmatif yang operasional.

Regulasi, DAU, dan Afirmasi yang Berhenti di Wacana

Upaya mengakses pembiayaan perbankan telah ditempuh KKMP Demangan secara prosedural dan politis. Musyawarah Kelurahan Anggota Koperasi telah diselenggarakan, rencana bisnis disusun, dan persetujuan kolektif diperoleh untuk menjalankan usaha serta mengakses pinjaman bank. Proses ini selaras dengan kerangka Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2025 yang mengatur tata cara pinjaman dalam rangka pendanaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Regulasi tersebut membuka ruang pemanfaatan dana transfer ke daerah, termasuk Dana Alokasi Umum (DAU), sebagai instrumen dukungan program strategis koperasi Merah Putih. Dalam berbagai audiensi, KKMP menegaskan bahwa DAU dapat berfungsi sebagai jaminan kebijakan untuk memperkuat akses pembiayaan koperasi.

Namun afirmasi kembali berhenti pada tataran wacana. Tidak ada tindak lanjut operasional yang dapat dijalankan perbankan. Tidak ada keputusan kebijakan yang menjembatani janji politik dengan realitas administratif. Negara hadir sebagai pemberi legitimasi simbolik, tetapi tidak sebagai penanggung risiko kebijakan.

Mengembalikan Afirmasi dalam Kerangka Governance

Pengalaman KKMP Demangan memperlihatkan bahwa kegagalan kebijakan bukan terletak pada niat awal, melainkan pada konsistensi implementasi. Kebijakan afirmatif yang dijalankan dengan logika netral-pasar akan selalu melahirkan kontradiksi: koperasi dibentuk untuk memperkuat rakyat, tetapi dipaksa bertahan dengan mekanisme yang tidak dirancang untuk mereka.

Jika negara sungguh-sungguh ingin menjadikan KKMP sebagai instrumen keadilan ekonomi, maka afirmasi harus hadir dalam kerangka governance yang nyata: pembagian risiko yang adil, skema pembiayaan yang adaptif, dan relasi kelembagaan yang setara.

Tanpa itu, KKMP hanya akan menjadi etalase kebijakan tampak berpihak di atas kertas, tetapi rapuh ketika dijalankan di lapangan.

Yogyakarta, 15 Desember 2025

Related posts

Menghasilkan Uang Cepat Hanya dengan Wi‑Fi? Janji Manis, Risiko Pahit

Kontroversi Putusan MK 114PUU-XXIII2025: Peran Polri Aktif dalam Jabatan Sipil Dipertanyakan

Membuka Pintu Masuk Dunia: BKK SMK SMAKANZA Jembatani Lulusan Menuju Masa Depan Gemilang

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Read More