Wonosobo, Satumenitnews.com – Di lereng Pegunungan Wonosobo, Jawa Tengah, hidup sebuah tradisi yang mengajarkan pentingnya gotong royong, spiritualitas, dan penghormatan terhadap alam. Namanya Hak-Hakan, sebuah seni pertunjukan sakral yang diwariskan masyarakat Dusun Kaliyoso, Desa Tegalombo, Kecamatan Kalikajar. Tradisi ini bukan hanya soal tarian atau ritual, melainkan arsip hidup pengetahuan ekologis yang berakar dari krisis nyata.
Apa itu Hak-Hakan dan bagaimana ia muncul?
Hak-Hakan bukan sekadar hasil kreasi budaya, melainkan lahir dari kondisi darurat ekologis. Pada tahun 1921, dua dusun di wilayah Kalikajar mengalami kekeringan ekstrem. Kelangkaan air kala itu nyaris melumpuhkan pertanian dan kebutuhan dasar sehari-hari warga.
Menanggapi situasi tersebut, warga bersatu membangun saluran irigasi sepanjang hampir 4 kilometer secara manual. Jalur air ini dibangun dengan tenaga manusia, melintasi hutan dan perbukitan curam, tanpa bantuan teknologi modern. Proyek ini menjadi tonggak solidaritas sosial yang luar biasa pada masa itu.
Setelah krisis berhasil diatasi, warga kemudian mentransformasi pengalaman kolektif mereka menjadi seni pertunjukan bernama Hak-Hakan. Ini bukan semata bentuk hiburan, tetapi medium untuk merawat memori dan nilai solidaritas dalam narasi yang bisa diwariskan lintas generasi.
Bagaimana Pertunjukan Ini Digelar?
Hak-Hakan biasa digelar satu hingga dua tahun sekali, dengan durasi pertunjukan mencapai 9 hingga 12 jam. Puluhan pria dewasa dan lansia dari dua dusun terlibat langsung sebagai penampil. Mereka menarikan kisah kolektif mulai dari musyawarah warga, penggalian tanah, pembukaan lahan, penanaman, hingga panen. Seluruh rangkaian aksi dipentaskan melalui tarian yang diiringi gamelan, sinden, kentongan, dan alat musik bambu.
Namun, lebih dari sekadar gerak tubuh dan iringan musik, Hak-Hakan adalah praktik spiritualitas ekologis. Setiap pelaku diwajibkan menjalani tirakat, seperti puasa, meditasi, dan pengasingan diri beberapa hari sebelum tampil. Ini bukan hanya persiapan estetis, tetapi proses penyucian batin agar selaras dengan alam dan para leluhur.
Menurut warga setempat, tirakat adalah cara untuk “membuka mata batin dan menyatu dengan tanah.” Dalam konteks ini, Hak-Hakan mengajarkan bahwa hubungan manusia dan lingkungan tidak bersifat eksploitatif, melainkan harmonis dan spiritual.
Siapa yang Melestarikan dan Mengakuinya?
Pada tahun 2018, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia secara resmi menetapkan Hak-Hakan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Pengakuan ini tidak hanya menyoroti keunikan bentuk pertunjukan, tetapi juga nilai pengetahuan lokal dan ketahanan sosial yang terkandung di dalamnya.
Lebih dari itu, Hak-Hakan mencerminkan sepuluh Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 2017. Tradisi ini mencakup pengetahuan tradisional soal irigasi dan pertanian, ritus spiritual, seni pertunjukan, hingga sistem sosial yang diwariskan secara lisan. Semua unsur tersebut hidup dalam satu tarian panjang yang menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat.
Mengapa Hak-Hakan Relevan Saat Ini?
Ketika dunia menghadapi ancaman krisis iklim global dan melemahnya solidaritas sosial, Hak-Hakan muncul sebagai model alternatif adaptasi yang berakar dari komunitas. Tradisi ini bukan sekadar respon masa lalu atas kekeringan, melainkan juga narasi resistensi dan transformasi sosial.
“Banyak solusi ditawarkan dari luar, tetapi warga di sini sudah punya jawaban sendiri dari pengalaman hidup mereka,” ungkap seorang sesepuh dusun.
Hak-Hakan membuktikan bahwa tradisi tidak melulu bersifat statis. Ia bisa menjadi medium refleksi atas masa lalu sekaligus strategi bertahan menghadapi masa depan. Masyarakat Kaliyoso tidak hanya bertahan secara fisik dari krisis air, tetapi juga membangun identitas budaya yang kuat melalui kesenian.