Home » Gerakan Tanam Kopi JATABU dan Perhutani, Upaya Menghidupkan Kembali Hutan Wonosobo

Gerakan Tanam Kopi JATABU dan Perhutani, Upaya Menghidupkan Kembali Hutan Wonosobo

Dari lereng Sumbing, warga Lamuk menanam harapan agar negara hadir memperkuat regulasi pengelolaan hutan berbasis komunitas

by Manjie
Listen to this article

Wonosobo, satumenitnews.com – Sebuah gerakan menanam kopi di kawasan hutan Wonosobo mulai bergulir. Selasa (14/10/2025), komunitas Jagat Tunas Bumi (JATABU) bersama Perhutani menggelar puncak kegiatan penanaman pohon kopi di lereng Gunung Sumbing, Desa Lamuk, Kecamatan Kalikajar.

Gerakan ini bukan sekadar aksi tanam biasa. Menurut Penasehat Utama JATABU, Laksamana TNI Dr. Taufik Arief, S.T., M.M., CHRMP., CSBA,, kegiatan tersebut lahir dari keresahan terhadap perubahan bentang alam Wonosobo yang kian kehilangan jati dirinya.

“Ini bukan sekadar menanam bibit. Kami ingin mengembalikan suasana Wonosobo yang dulu. Alam harus dirawat, bukan ditinggalkan,” kata Taufik di sela kegiatan.

23 Ribu Bibit di Empat Titik

Penanaman tanaman kopi dilakukan di beberapa lokasi hutan seperti Igirmranak, Campursari Kejajar, Lamuk, dan Warangan. Total sebanyak 23 ribu bibit ditanam, dengan jumlah disesuaikan kondisi lahan dan arahan dari Asper serta Administratur (ADM) Perhutani.

Baca juga :  Sempat Mengelak, Pemuda Ini Akhirnya Ngaku Telah Melakukan Perang Sarung

Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, yang hadir dalam kegiatan itu mengapresiasi langkah tersebut. Ia menilai kopi bukan hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga fungsi ekologis yang kuat untuk konservasi lahan.

“Ini gerakan bernilai. Merawat hutan sekaligus memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat,” ujar Afif. “Kalau kolaborasi seperti ini diperkuat dengan regulasi, kelompok tani akan merasakan hasilnya langsung.”

Afif menegaskan, inisiatif warga akar rumput seperti JATABU seharusnya mendapat kepastian hukum agar tidak berhenti di seremoni penanaman semata.

Sengkarut Lahan dan Peran Komunitas

Ketua Umum JATABU, Mantep Abdul Ghoni, mengungkapkan masalah teknis masih sering muncul di lapangan. Salah satunya menyangkut ketidakjelasan pangkuan lahan antara Perhutani dan kehutanan sosial.

Baca juga :  Ratusan Relawan di Wonosobo Deklarasikan Dukung Ganjar Jadi Presiden

“Kami turun ke lapangan, tapi data luasan belum jelas. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi soal kewenangan,” ujarnya.

Meski demikian, Mantep menegaskan gerakan tanam kopi ini tidak memiliki muatan bisnis. “Kami murni hibah. Tidak masuk ke skema investor. Perhutani menyediakan lahan, kami sediakan bibit, dan pemanfaatannya sepenuhnya untuk LMDH dan petani,” tambahnya.

Kopi sebagai Jembatan Ekologis

Menurut Mantep, kopi dipilih karena mampu menjadi tanaman peralihan yang diterima masyarakat. Di tengah maraknya alih fungsi hutan menjadi ladang sayur, kopi dianggap mampu menjaga keseimbangan ekologi tanpa mengorbankan ekonomi warga.

“Kopi jadi jembatan. Ada manfaat ekonomi, sambil perlahan kita arahkan kembali ke tegakan. Kalau langsung tegakan, siapa yang mau rawat?” katanya.

Baca juga :  Tak Hanya Teguran, Satpol PP Wonosobo Kini Sita Barang PKL Bandel di Sekitar Alun-Alun

JATABU juga berkomitmen mengikuti tahapan penanaman dan mekanisme yang diarahkan Perhutani maupun Cabang Dinas Kehutanan (CDK).

Di tengah perubahan lanskap hutan Wonosobo, gerakan ini tumbuh menjadi suara moral yang meminta negara hadir lebih konkret. Bukan hanya memberi izin tanam, tetapi juga menciptakan payung hukum bagi model pengelolaan hutan berbasis komunitas.

Bagi JATABU, tanaman kopi bukan sekadar pohon yang ditanam, tapi simbol pengikat antara manusia dan alam yang mesti terus dijaga.

You may also like

Leave a Comment