Wonosobo, satumenitnews.com – Festival Kuliner Legend Wonosobo kembali membuktikan diri sebagai magnet ribuan warga dengan memadati Gedung Sasana Adipura Kencana selama tiga hari pelaksanaan, 21–23 November 2025, sejak pagi hingga malam. Event yang digagas Komunitas Jurnalis Wonosobo ini menjelma menjadi ruang nostalgia kuliner lintas generasi dan mengukuhkan kuliner legend sebagai identitas kota.
Ribuan Pengunjung Padati Adipura Sejak Pagi
Selama tiga hari penyelenggaraan, area Sasana Adipura Kencana tidak pernah benar-benar sepi sejak pintu dibuka pukul 08.00 hingga 22.00 WIB. Gelombang pengunjung yang diperkirakan lebih dari 2.000 orang per hari terus datang bergantian dan membuat ruang utama nyaris selalu penuh.
Mayoritas pengunjung datang berombongan bersama keluarga besar, mulai dari kakek-nenek, orang tua, hingga anak-anak yang sibuk memilih makanan di setiap stan. Meja-meja bundar yang disiapkan panitia tidak pernah kosong, sementara kursi di selasar gedung ikut terisi penuh sejak pagi hingga malam.
19 Stan Kuliner Legend Jadi Magnet
Festival tahun ini menghadirkan 19 stan dengan 18 tempat kuliner legend dan satu stand minuman serta gorengan (tempe kemul) yang selama ini akrab di lidah warga Wonosobo dan sekitarnya. Setiap sudut ruangan dipenuhi nama-nama legendaris yang biasanya hanya bisa ditemui di titik-titik tertentu kota, kini berkumpul dalam satu atap di Adipura.
Bagi banyak warga, festival ini terasa seperti reuni besar dengan rasa yang menempel sejak kecil: dari warung legendaris di pinggir jalan, lapak dekat sekolah, hingga langganan keluarga di kecamatan-kecamatan. Momen tiga hari ini menjadi kesempatan langka untuk mencicipi kembali berbagai menu tanpa harus berkeliling kota.
Aroma Tempe Kemul hingga Nasi Goreng Babat Pete
Dari pintu utara hingga sudut selatan ruangan, udara dipenuhi aroma yang saling bertumpuk dan menggoda. Pengunjung disambut wangi tempe kemul panas yang baru diangkat dari penggorengan, sagon basah yang terus dipanggang, kuah opor sate ayam kampung, hingga wangi sate kambing khas Kertek.
Di antara deretan itu, salah satu yang paling banyak diburu adalah nasi goreng babat pete Pak Giri yang dikenal “ngangeni” oleh pelanggan lamanya. Sejak festival dibuka, wajan di stan Pak Giri tidak pernah benar-benar padam karena pesanan mengalir tanpa henti dari pagi sampai malam.
“Tangan Capai, Tapi Senang” di Balik Wajan Panas
Pak Giri mengaku kewalahan melayani pesanan, meski dibantu tiga orang kru yang terus bergerak mengolah bahan, memasak, dan melayani pengunjung. Ia menuturkan, kepadatan pesanan nasi goreng babat pete membuat tangannya lelah, tetapi rasa lelah itu terbayar oleh antusiasme pengunjung yang rela mengantre.
“Tangan sampai capai. Tapi seneng, banyak pesanan, khususnya nasi goreng babat pete,” ujarnya di sela-sela jeda singkat sebelum kembali mengangkat wajan untuk melayani antrean berikutnya. Ucapan itu menggambarkan bagaimana festival ini bukan hanya ramai di pengunjung, tetapi juga berdampak langsung pada omzet pedagang.
Rata-rata 200 Porsi Ludes per Hari
Lonjakan jumlah pengunjung membuat omzet hampir seluruh stan kuliner legend naik tajam jauh di atas hari biasa. Banyak pedagang mengaku menghabiskan rata-rata 200 porsi per hari, angka yang semula tidak pernah mereka bayangkan saat mendaftar sebagai peserta festival.
Antrean di kasir bersama yang disiapkan panitia tampak mengular panjang, hingga tiga titik kasir yang dibuka tetap kewalahan melayani pembeli yang terus berdatangan. Situasi tersebut menciptakan pemandangan khas festival: deretan pengunjung dengan nampan penuh makanan, sambil menunggu giliran membayar dan mencari tempat duduk kosong.
Kupat Tahu Tambah Stok, Dua Hari 200 Porsi Habis
Donzu, pemilik Kupat Tahu yang sehari-hari mangkal di depan SMAN 1 Wonosobo, menjadi salah satu peserta yang merasakan langsung berkah Festival Kuliner Legend. Sejak hari pertama, ia memutuskan menambah persediaan karena melihat arus pengunjung yang tidak surut.
“Event ini keren banget. Pengunjungnya mbludak, dan saya harus nambah persediaan,” ujarnya. Dalam dua hari penyelenggaraan, lebih dari 200 porsi kupat tahu ludes terjual, membuatnya harus menata ulang strategi stok agar tetap bisa melayani hingga hari terakhir.
Brongkos, Saoto, hingga Mie Ongklok Habis Lebih Cepat
Dari ujung timur hingga barat area Adipura, hampir tidak ada stan yang terlihat sepi kursi dan meja. Brongkos Warung Biru, Soto Sapi EDS, Mie Ayam Gito, hingga Mie Ongklok Prapatan Sumberan sama-sama melaporkan stok dagangan habis lebih cepat dari perkiraan awal.
Banyak pengunjung yang datang pada sore hari justru menemukan beberapa menu favorit sudah habis dan stan mulai merapikan alat masak. Situasi ini menunjukkan betapa tinggi daya beli dan minat warga terhadap kuliner legend yang sebelumnya hanya mereka temui di lokasi-lokasi asli masing-masing warung.
Pedagang Kewalahan, Beberapa Harus Tutup Lebih Awal
Anang, pedagang Bubur Kacang Hijau Prapatan, bahkan terpaksa menutup stan lebih awal karena tidak lagi memiliki stok untuk dijual. Ia menyebut lebih dari 200 cup sudah terjual dalam satu hari, angka yang membuatnya kehabisan tenaga sekaligus stok bahan.
“Sudah 200 cup lebih hari ini. Luar biasa pokoknya,” katanya sambil menahan lelah, sembari bersiap menutup lapak meski jam festival belum selesai. Situasi serupa juga dialami beberapa pedagang lain yang memilih mengutamakan kualitas rasa ketimbang memaksakan produksi tambahan dalam kondisi sudah kelelahan.
Saoto Kuali Sejak 1950-an Ikut Kewalahan
Margono, pemilik Saoto Kuali Mbah Marsono yang sudah eksis sejak tahun 1950-an, juga mengaku tidak menyangka antusiasme pengunjung sedemikian besar. Meski mendapat bantuan dari ponakannya, Eca, energi mereka terkuras untuk terus melayani pesanan sejak pagi.
Menjelang sore, keduanya akhirnya memutuskan menutup stan sekitar pukul 16.00 WIB karena merasa sudah kehabisan tenaga, sementara festival masih akan berlangsung hingga pukul 22.00 WIB. Keputusan itu menandai betapa beratnya ritme kerja di balik dapur setiap stan kuliner legend selama festival.
Kuliner Legend sebagai Identitas Kota
Di tengah hiruk pikuk pengunjung, suara musik, dan denting alat masak, Festival Kuliner Legend Wonosobo tampil seperti panggung besar yang merayakan identitas kota melalui makanan. Setiap porsi saoto, sepiring mie ongklok, selembar tempe kemul, hingga sepiring nasi goreng babat pete membawa cerita masing-masing tentang Wonosobo dan warganya.
Bagi banyak pengunjung, kuliner legend bukan sekadar urusan perut, melainkan kumpulan kenangan masa kecil, momen keluarga, dan ruang pertemuan lintas generasi yang kini dirangkum dalam satu festival. Gelaran tahun ini menunjukkan bahwa tradisi kuliner Wonosobo tidak hanya bertahan, tetapi juga terus dicintai dan dirayakan sebagai bagian penting dari wajah kota.