Wonosobo, satumenitnews.com — Wonosobo, yang dikenal dengan kekayaan alamnya, kini menghadapi tantangan besar dalam menjaga kelestarian mata air di tengah pesatnya perkembangan sektor pariwisata. Dalam wawancara dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Wonosobo, Endang Lisdyaningsih S.Hut, kami membahas bagaimana pengelolaan mata air dan daerah resapan air, serta langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi ancaman eksploitasi alam yang tidak terkendali, Kamis (06/03/2025).
“Pengendalian Eksploitasi Mata Air dan Alam Sangat Penting,” Kata Kepala DLH Wonosobo
Endang Lisdyaningsih, Kepala DLH Wonosobo, menjelaskan bahwa pengelolaan mata air di Wonosobo memerlukan perhatian serius, mengingat data terbaru yang menunjukkan penurunan kualitas dan kuantitas mata air.
“Kami mencatat selama 5 tahun kebelakang ada 713 mata air yang tersebar di 15 kecamatan, namun 12 mata air di antaranya sudah mati. Ini adalah tantangan besar bagi kami,” ujar Endang.
Data tersebut didapatkan berdasarkan pencatatan terbaru yang dilakukan oleh DLH Wonosobo. Dari 713 mata air, sebanyak 428 di antaranya mengalir dengan kategori besar, sementara 273 lainnya mengalir kecil.
Sementara itu, 12 mata air terpantau mati, yang menunjukkan adanya penurunan signifikan yang mempengaruhi pasokan air untuk kebutuhan masyarakat dan sektor pariwisata.
Eksploitasi Alam dan Perubahan Fungsi Lahan Jadi Ancaman Utama
Eksploitasi alam yang tidak terkendali menjadi salah satu penyebab utama penurunan kualitas mata air di Wonosobo. Kepala DLH Wonosobo menegaskan bahwa pengelolaan daerah resapan juga harus mendapatkan perhatian serius.
“Selain eksploitasi mata air, kami juga harus mengendalikan eksploitasi alam lainnya, seperti konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian atau permukiman, yang mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan,” tambah Endang.
Menurut data, Wonosobo menghadapi ancaman besar akibat alih fungsi lahan yang merusak daerah resapan air. Pembukaan lahan secara sembarangan untuk sektor pertanian atau permukiman di kawasan hulu mata air berisiko mengurangi kapasitas daerah resapan dalam menampung air hujan.
Hal ini dapat berpotensi pada penurunan kualitas mata air dan bahkan kekeringan di beberapa wilayah.
Sinergi Antar OPD dan Masyarakat Sangat Diperlukan
Endang juga menegaskan bahwa untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan sinergi yang kuat antara berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan masyarakat.
“DLH tidak bisa bekerja sendiri. Kami membutuhkan kerjasama antara Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pariwisata, Dinas Pertanian, dan sektor swasta untuk menjaga kelestarian alam,” ujarnya.
Kebijakan yang lebih ketat mengenai alih fungsi lahan, serta penggunaan teknologi ramah lingkungan dalam sektor pertanian dan pembangunan, juga harus menjadi prioritas. Pemerintah daerah, menurut Endang, perlu mengembangkan kebijakan yang melarang konversi hutan menjadi lahan pertanian atau permukiman tanpa melalui kajian lingkungan yang mendalam.
Reboisasi dan Penghijauan Menjadi Kunci Pemulihan Daerah Resapan
Dalam upaya untuk memulihkan daerah resapan yang telah rusak, Endang menekankan pentingnya program reboisasi dan penghijauan.
“Kami sedang menginisiasi program reboisasi di beberapa area yang telah mengalami deforestasi atau degradasi tanah. Penanaman pohon di daerah tersebut diharapkan bisa mengembalikan kemampuan tanah dalam menyerap air hujan dan memperbaiki kualitas mata air,” jelasnya.
Menurut data dari DLH, beberapa kecamatan yang memiliki mata air dalam kondisi kritis, seperti Watumalang dan Selomerto, akan menjadi fokus utama dalam program penghijauan ini. Penghijauan dan reboisasi akan dilakukan secara bertahap untuk mengembalikan keseimbangan alam yang terganggu oleh konversi lahan.
Masyarakat Harus Terlibat Dalam Menjaga Kelestarian Alam
Endang juga menekankan pentingnya peran masyarakat dalam menjaga kelestarian mata air dan daerah resapan. Masyarakat diharapkan lebih sadar akan pentingnya pelestarian alam dan terlibat aktif dalam kegiatan konservasi.
“Pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga daerah resapan air dan mata air sangat kami tekankan. Masyarakat juga bisa berperan dalam kegiatan gotong-royong untuk penghijauan dan menjaga lingkungan sekitar mereka,” ungkapnya.
Selain itu, Endang juga menyarankan agar sektor pariwisata di Wonosobo berkembang secara berkelanjutan tanpa merusak alam. “Pariwisata memang menjadi sumber pendapatan utama, tapi kita harus memastikan bahwa pembangunan sektor ini tidak merusak alam dan keberlanjutan mata air. Pengelolaan air yang efisien dan ramah lingkungan harus diterapkan di setiap fasilitas wisata,” tambahnya.
Kebijakan Pemerintah Untuk Masa Depan Wonosobo
Ke depan, Endang berharap ada kebijakan yang lebih tegas dalam pengelolaan alam, terutama dalam menjaga keberlanjutan mata air di Wonosobo.
“Kami perlu membuat perencanaan tata ruang yang lebih memperhatikan daya dukung lingkungan agar pembangunan bisa berjalan tanpa merusak kawasan resapan air. Selain itu, kami berharap pengelolaan air yang efisien dapat diterapkan secara luas, baik di sektor rumah tangga, pertanian, maupun pariwisata,” tutup Endang.