Wonosobo, satumenitnews.com – Polemik audiensi membahas telaah dasar hukum penjaringan perangkat desa di Wonosobo membuka babak baru kritik, tidak hanya kepada Pemerintah Kabupaten, tetapi juga terhadap sikap Perkumpulan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) yang dinilai tidak peka terhadap krisis kekosongan perangkat di desa-desa seperti Selomanik.
Dalam audiensi yang digelar untuk membahas telaah dasar hukum penjaringan perangkat desa, BPD Selomanik tidak hanya mengkritik alasan keuangan yang disampaikan pemerintah kabupaten, tetapi juga menyentil peran organisasi-organisasi desa, termasuk Perkumpulan Perangkat Desa Indonesia (PPDI), yang dinilai tidak cukup hadir dalam memperjuangkan hak desa. Yudhi Setiawan, juru bicara BPD Selomanik, menyebut perjuangan pengisian perangkat yang kosong seharusnya menjadi agenda bersama, bukan hanya beban satu desa.
Yudhi mengakui bahwa di atas kertas sudah ada banyak wadah, mulai dari asosiasi kepala desa, paguyuban perangkat, hingga PPDI yang semestinya paling dekat dengan isu kesejahteraan dan formasi perangkat, Senin (24/11/2025) Ruang Soerdjo Hadikusumo (Ex Kendali Bawah), Sekretariat Daerah Kabupaten Wonosobo. Namun, dalam praktik, ia melihat justru BPD yang paling aktif bersuara ketika desa kehilangan tenaga perangkat selama lebih dari dua setengah tahun, sementara organisasi lain memilih berhitung.
Menurut Yudhi, sikap “mengetahui tetapi tidak terlibat” yang ia lihat pada sejumlah asosiasi membuat desa yang terdampak kekosongan perangkat merasa berjuang sendirian. Bagi BPD Selomanik, keheningan organisasi yang seharusnya menjadi rumah besar perangkat desa itu terasa janggal ketika pelayanan publik di akar rumput sedang tersendat karena formasi tidak segera diisi.
Ia menegaskan, perjuangan pengisian 171 formasi perangkat desa di Wonosobo bukan perkara kecil yang bisa dipandang sebagai urusan internal satu desa. Setiap kursi yang kosong, kata Yudhi, berimbas langsung pada warga yang menunggu layanan administrasi, bantuan sosial, hingga pengelolaan program yang seharusnya berjalan normal di tingkat desa.
Dalam konteks itu, ketidakpekaan PPDI dan asosiasi serupa dipandang BPD Selomanik sebagai celah serius dalam representasi perangkat desa. Saat desa harus berhadapan dengan argumen kemampuan keuangan daerah dan tarik-ulur regulasi, organisasi yang mengatasnamakan perangkat desa justru terlihat lebih banyak berada di luar arena sengketa.
Yudhi menyebut, tidak ada larangan bagi PPDI maupun asosiasi kepala desa untuk berhitung politik atau menjaga jarak dari dinamika audiensi. Namun, ia mengingatkan, hak desa atas perangkat yang lengkap dan pelayanan yang layak seharusnya menjadi garis merah bersama. Ketika garis itu dilanggar terlalu lama, wajar jika desa mempertanyakan keberpihakan organisasi yang mengklaim membela perangkat.
Lebih jauh, BPD Selomanik memandang ruang audiensi dengan Sekda dan jajaran dinas terkait sebagai momentum penting untuk menguji seberapa serius semua pihak memandang desa sebagai ujung tombak pelayanan. Di satu sisi, pemerintah kabupaten berbicara tentang penataan tata kelola keuangan, penundaan Perda Pilkades, dan kehati-hatian menyusun kebijakan penghasilan perangkat. Di sisi lain, desa berhadapan dengan antrean pelayanan yang berjalan lambat karena meja-meja birokrasi di balai desa dibiarkan kosong terlalu lama.
Dalam situasi tersebut, ketiadaan suara lantang dari PPDI dan asosiasi sejenis menambah rasa timpang di kalangan BPD dan warga. Yudhi menyebut, desa bisa saja menerima penjelasan teknis soal regulasi dan anggaran, tetapi sulit menerima ketika desa merasa hampir sendirian menyuarakan hak-hak dasar atas pelayanan publik yang seharusnya dijamin negara.
Bagi BPD Selomanik, audiensi di Wonosobo hari itu menjadi cermin: siapa yang benar-benar berdiri di sisi desa ketika hak atas perangkat dan pelayanan publik dipertaruhkan, dan siapa yang memilih hanya menjadi penonton di pinggir arena.

