Home » Audiensi Panas di Wonosobo: Saat BPD Selomanik dan Sekda Berbeda Tafsir Soal Hak Desa

Audiensi Panas di Wonosobo: Saat BPD Selomanik dan Sekda Berbeda Tafsir Soal Hak Desa

BPD Selomanik Pertanyakan Alasan Keuangan Pemkab, Sekda Tekankan Regulasi dan Penataan Anggaran

by Manjie
Listen to this article

Wonosobo, satumenitnews.com – Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Selomanik menegaskan sikap kritis terhadap Pemerintah Kabupaten Wonosobo dalam audiensi membahas telaah dasar hukum penjaringan perangkat desa, terutama terkait alasan keuangan daerah dan penundaan kebijakan pengisian 171 formasi perangkat desa, Senin (24/11/2025) Ruang Soerdjo Hadikusumo (Ex Kendali Bawah), Sekretariat Daerah Kabupaten Wonosobo.

BPD Selomanik melalui juru bicara Yudhi Setiawan menyebut pernyataan Sekretaris Daerah (Sekda) Wonosobo soal kemampuan keuangan daerah berada di luar semangat pengaturan dalam undang-undang yang mewajibkan minimal 10 persen Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan untuk desa. Yudhi menilai, jika kenaikan penghasilan perangkat desa yang disebut 2 persen dijadikan alasan penundaan kebijakan, maka akar masalahnya ada pada ketidakmampuan fiskal pemerintah kabupaten, bukan pada desa.

Menurut Yudhi, posisi desa menjadi korban ketika hak-hak desa ditunda dengan dalih keterbatasan anggaran, sementara regulasi nasional justru memberi ruang pemenuhan hak tersebut. Ia menegaskan BPD Selomanik memilih tetap berjalan pada jalur konstitusional dan menunggu respons Kementerian Dalam Negeri yang menurut informasi awal tidak mempermasalahkan langkah pengisian perangkat desa.

Yudhi juga mengkritik pola komunikasi Pemkab yang selama ini dinilai berlindung di balik alasan “menunggu PP” dan “menunggu aturan baru” setiap kali desa meminta kejelasan mengenai pengisian perangkat desa. Dalam audiensi membahas telaah dasar hukum penjaringan perangkat desa itu, ia menyebut persoalan sebenarnya justru baru terbuka, yakni soal kemampuan keuangan daerah.

Bagi BPD Selomanik, dana memang dikelola pemerintah kabupaten, namun pemenuhannya diarahkan untuk hak desa sebagaimana mandat regulasi. Yudhi menegaskan, tuntutan mereka sederhana: desa meminta apa yang memang menjadi haknya, terutama terkait pengisian kekosongan perangkat yang sudah berlangsung lebih dari dua setengah tahun.

Sebagai lembaga desa, BPD Selomanik mendesak penjaringan perangkat desa segera dilaksanakan tanpa terus-menerus tersandera perdebatan soal peraturan bupati dan regulasi teknis lain. Dari 171 kekosongan perangkat desa di Kabupaten Wonosobo, Yudhi menekankan seluruh formasi itu adalah kebutuhan desa yang berdampak langsung pada pelayanan publik, bukan angka administratif semata.

Ia mengingatkan, proses yang sudah berjalan perlu dihargai, termasuk upaya tim yang sudah berkonsultasi hingga ke Jakarta untuk mencari kepastian hukum. Yudhi mengklaim, informasi yang diterima di tingkat pusat menunjukkan Kementerian Dalam Negeri tidak menjadikan aspek hukum sebagai penghambat, sehingga narasi penundaan dengan alasan menunggu peraturan pemerintah dianggap tidak lagi relevan.

Di sisi lain, Yudhi membaca perjuangan ini sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas, meski ia memilih fokus pada Desa Selomanik agar tidak memprovokasi desa lain secara langsung. Menurutnya, jika seluruh BPD dari desa yang mengalami kekosongan perangkat bergerak bersama, posisi tawar mereka di hadapan pemerintah kabupaten akan jauh lebih kuat.

Yudhi juga menyebut, berbagai asosiasi seperti organisasi kepala desa maupun paguyuban perangkat sebenarnya mengetahui dinamika perjuangan ini, tetapi memilih tidak terlibat dengan berbagai pertimbangan internal. Ia menyatakan BPD siap menanggung konsekuensi pandangan miring, termasuk ketika perjuangan mereka dipersepsikan seperti gerakan LSM, selama yang diperjuangkan adalah hak desa.

Dampak kekosongan perangkat desa dirasakan langsung oleh warga Selomanik, yang menurut Yudhi sudah lebih dari dua setengah tahun menghadapi layanan publik yang melambat. Ia menyebut tidak adanya pejabat pelaksana tugas (PLT) di posisi yang kosong dan ketiadaan dasar regulasi PLT sebagai faktor penghambat, sehingga sejumlah operator harus merangkap pekerjaan yang tidak lazim dalam tata kelola pemerintahan.

Yudhi mencontohkan, pelayanan administrasi hingga pengelolaan program desa menjadi tersendat, dan indikatornya tampak dari berlarutnya sejumlah pekerjaan di tingkat desa. Ia menegaskan tujuan utama perjuangan BPD hanya agar desa kembali berjalan wajar dengan struktur perangkat yang lengkap, bukan semata urusan politik lokal.

Terkait perpanjangan masa jabatan perangkat lama, Yudhi menjelaskan sudah ada upaya dari kepala desa untuk memperpanjang masa tugas, namun para perangkat tersebut kemudian berhenti. Dalam audiensi, ia mengaku terkejut karena alasan Pemkab bergeser dari semula soal dasar hukum menjadi alasan keterbatasan anggaran.

Di hadapan Pemkab, Yudhi menyampaikan kegelisahan ketika warga desa menuntut hak dan pemerintah daerah di saat yang sama menyatakan tidak bisa memenuhinya karena ruang fiskal yang sempit. Menurutnya, hak atas pelayanan dan perangkat desa sejatinya berada di tingkat desa, sehingga desa merasa menanggung dampak paling besar dari kebijakan yang tertunda.

Dari sisi pemerintah kabupaten, Sekda Wonosobo One Andang Wardoyo menjelaskan bahwa Peraturan Daerah (Perda) tentang pemilihan kepala desa saat ini memang ditunda pembahasannya sambil menunggu terbitnya peraturan pemerintah terbaru. Ia menyebut arahan dari Biro Hukum Provinsi mendorong penyelarasan antara perda dan regulasi nasional yang akan mengatur lebih rinci soal Pilkades ke depan.

Andang menambahkan, pemerintah kabupaten tengah melakukan penataan menyeluruh atas tata kelola keuangan daerah agar penyaluran anggaran menjadi lebih efektif, efisien, dan akuntabel. Menurutnya, penataan ini penting sebelum komitmen anggaran jangka panjang untuk penghasilan perangkat desa ditetapkan secara permanen.

Terkait kekosongan perangkat desa, Sekda mencatat ada 171 formasi yang belum terisi di seluruh Kabupaten Wonosobo, namun tidak semua desa mengalami kekosongan total karena sebagian tugas masih dapat dijalankan melalui pejabat pelaksana tugas. Ia menegaskan pemerintah menyadari konsekuensi dari kekosongan tersebut, sehingga persoalan ini dibawa dalam forum audiensi untuk dicarikan jalan keluar.

Andang juga menyampaikan sudah memerintahkan Inspektorat untuk melakukan audit terhadap perangkat yang berhenti, guna menelusuri di mana letak kekurangan, bagaimana dana digunakan, dan apakah ada hal yang perlu dimasukkan kembali dalam perencanaan. Ia menyebut proses audit sedang berjalan dan diharapkan bisa memberi gambaran lebih lengkap sebelum keputusan lanjutan diambil.

Mengenai waktu pelaksanaan Pilkades, Sekda menjelaskan pembahasan perda akan dilakukan tahun depan dan pelaksanaan pemilihan belum tentu menunggu hingga 2027. Jika peraturan pemerintah terbit lebih awal dan situasi di daerah dinilai mendesak, regulasi baru dapat langsung dipakai sebagai dasar pelaksanaan Pilkades.

Soal diskresi pengisian perangkat desa, One Andang mengatakan pemerintah kabupaten sedang menata peraturan bupati terkait penghasilan perangkat desa. Ia mengaku menerima informasi bahwa ke depan skema penghasilan perangkat desa mungkin akan menyerupai aparatur sipil negara, dengan kenaikan berkala, misalnya setiap dua tahun, sekaligus mempertimbangkan masa kerja dan tingkat pendidikan.

Sekda menilai, skema kenaikan berkala sekitar 2 persen untuk ribuan perangkat desa akan menjadi beban berat bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) jika tidak dihitung cermat. Karena itu, pemerintah ingin memastikan setiap kenaikan penghasilan berbanding lurus dengan peningkatan kinerja dan output kerja perangkat desa, bukan hanya menambah belanja tanpa dampak pelayanan.

Untuk waktu pasti pengisian perangkat desa, One Andang mengakui belum dapat memberi tanggal karena pemerintah masih menunggu kepastian regulasi di tingkat pusat dan penyesuaian kebijakan di daerah. Ia menegaskan Pemkab tetap membuka ruang dialog dengan desa dan BPD agar dinamika di lapangan bisa tersampaikan langsung.

Terkait Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) desa, Sekda menjelaskan fenomena SILPA hampir selalu muncul setiap tahun dan akan dianggarkan kembali pada tahun berikutnya. Ia menyebut, sumber SILPA bisa berasal dari proyek, bantuan, maupun administrasi operasional, sementara rincian besarnya berada di masing-masing desa yang mengelola langsung.

You may also like

Leave a Comment

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy